Mengikuti kerajaan Mataram, wilayah
Kesultanan Yogyakarta pada mulanya dibagi menjadi beberapa lapisan yaitu
Nagari Ngayogyakarta (wilayah ibukota),
Nagara Agung (wilayah utama), dan
Manca Nagara
(wilayah luar). Keseluruhan wilayah Nagari Ngayogyakarta dan wilayah
Nagara Agung memiliki luas 53.000 karya (sekitar 309,864500 km persegi),
dan keseluruhan wilayah Manca Nagara memiliki luas 33.950 karya
(sekitar 198,488675 km persegi). Selain itu, masih terdapat tambahan
wilayah dari Danurejo I di
Banyumas, seluas 1.600 karya (sekitar 9,3544 km persegi).
- Nagari Ngayogyakarta meliputi:
- (1) Kota tua Yogyakarta (di antara Sungai Code dan Sungai Winongo), dan
- (2) Daerah sekitarnya dengan batas Masjid Pathok Negara.
- Nagara Agung meliputi:
- (1) Daerah Siti Ageng Mlaya Kusuma (wilayah Siti Ageng [suatu wilayah di antara Pajang dengan Demak] bagian timur yang tidak jelas batasnya dengan wilayah Kesunanan),
- (2) Daerah Siti Bumijo (wilayah Kedu dari Sungai Progo sampai Gunung Merbabu),
- (3) Daerah Siti Numbak Anyar (wilayah Bagelen antara Sungai Bagawanta dan Sungai Progo),
- (4) Daerah Siti Panekar (wilayah Pajang bagian timur, dari Sungai Samin ke selatan sampai Gunungkidul, ke timur sampai Kaduwang), dan
- (5) Daerah Siti Gadhing Mataram (wilayah Mataram Ngayogyakarta [suatu wilayah di antara Gunung Merapi dengan Samudera Hindia]).
Pembagian Mataram dan Manca Nagara pada tahun 1757.
- Manca Nagara meliputi:
- (1) Wilayah Madiun yang terdiri dari daerah-daerah:
- (a) Madiun Kota,
- (b) Magetan,
- (c) Caruban, dan
- (d) Setengah Pacitan;
- (2) Wilayah Kediri yang meliputi daerah-daerah:
- (a) Kertosono,
- (b) Kalangbret, dan
- (c) Ngrowo (Tulung Agung);
- (3) Wilayah Surabaya yang meliputi daerah Japan (Mojokerto);
- (4) Wilayah Rembang yang meliputi daerah-daerah:
- (a) Jipang (Ngawen) dan
- (b) Teras Karas (Ngawen);
- (5) Wilayah Semarang yang meliputi daerah-daerah:
- (a) Selo atau Seselo (makam nenek moyang raja Mataram),
- (b) Warung (Kuwu-Wirosari), dan
- (c) Sebagian Grobogan.
Wilayah-wilayah Kesultanan tersebut bukan sebuah wilayah yang utuh, namun terdapat banyak
enklave maupun
eksklave wilayah Kesunanan dan Mangku Negaran. Wilayah-wilayah tersebut merupakan hasil dari
Perjanjian Palihan Nagari yang ditandatangani di Giyanti. Perjanjian itu juga disebut
Perjanjian Giyanti.
Dalam perjalanan waktu wilayah tersebut berkurang akibat perampasan oleh
Daendels dan
Raffles. Setelah
Perang Diponegoro selesai pada
1830, pemerintah
Hindia Belanda akhirnya merampas seluruh wilayah Manca Nagara. Pada tahun itu pula ditandatangani
Perjanjian Klaten pada 27 September
1830 yang menegaskan wilayah dan batas-batas
Kasultanan Yogyakarta dengan
Kasunanan Surakarta. Wilayah
Kasultanan Yogyakarta hanya meliputi
Mataram dan
Gunungkidul dengan luas 2.902,54 km persegi. Di wilayah tersebut terdapat
enklave Surakarta (
Kotagede dan
Imogiri), Mangku Negaran (Ngawen), dan Paku Alaman (Kabupaten Kota Paku Alaman).
Penduduk
Potret putra dan putri bangsawan Kesultanan Yogyakarta (1870).
Pembagian wilayah menurut
Perjanjian Palihan Nagari juga diikuti dengan pembagian pegawai kerajaan (
abdi Dalem) dan rakyat (
kawula Dalem) yang menggunakan atau memakai wilayah tersebut. Hal ini tidak terlepas dari sistem pemakaian
tanah pada waktu itu yang menggunakan sistem
lungguh
(tanah jabatan). Diperkirakan penduduk kesultanan pada waktu perjanjian
berjumlah 522.300 jiwa, dengan asumsi tanah satu karya dikerjakan oleh
satu keluarga dengan anggota enam orang. Pada
1930 penduduk meningkat menjadi 1.447.022 jiwa.
Dalam strata sosial, penduduk dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu bangsawan (
bandara), pegawai (
abdi Dalem) dan rakyat jelata (
kawula Dalem).
Sultan
yang merupakan anggota lapisan bangsawan menempati urutan puncak dalam
sistem sosial. Anggota lapisan bangsawan ini memiliki hubungan
kekerabatan dengan
Sultan yang pernah atau sedang memerintah. Namun hanya bangsawan keturunan 1-4 (anak, cucu, anak dari cucu, dan cucu dari cucu) dari
Sultan yang termasuk Keluarga Kerajaan dalam artian mereka memiliki kedudukan dan peran dalam upacara kerajaan.
Lapisan pegawai mendasarkan kedudukan mereka dari surat keputusan yang dikeluarkan oleh
Sultan. Lapisan ini dibedakan menjadi tiga yaitu pegawai
Keraton, pegawai
Kepatihan,
Kabupaten, dan
Kapanewon,
serta pegawai yang diperbantukan pada pemerintah penjajahan. Lapisan
rakyat jelata dibedakan atas penduduk asli dan pendatang dari luar.
Selain itu terdapat juga orang-orang asing maupun keturunannya yang
bukan warga negara
Kasultanan Yogyakarta yang berdiam di wilayah kesultanan.
Pemerintahan dan politik
Koridor di depan Gedhong Jene dan Gedhong Purworetno. Dari bangunan yang disebut terakhir ini
Sultan mengendalikan seluruh kerajaan.
Pemerintahan Kasultanan Yogyakarta mulanya diselenggarakan dengan menggunakan susunan pemerintahan warisan dari
Mataram. Pemerintahan dibedakan menjadi dua urusan besar yaitu
Parentah Lebet (urusan dalam) yang juga disebut
Parentah Ageng Karaton, dan
Parentah Jawi (urusan luar) yang juga disebut
Parentah Nagari.
Sultan memegang seluruh kekuasaan pemerintahan negara. Dalam menjalankan kewajibannya sehari-hari
Sultan dibantu lembaga
Pepatih Dalem yang bersifat personal.
[2]
Pada mulanya pemerintahan urusan dalam dan urusan luar masing-masing dibagi menjadi empat kementerian yang dinamakan
Kanayakan. Kementerian urusan dalam adalah:
- (1) Kanayakan Keparak Kiwo, dan
- (2) Kanayakan Keparak Tengen,
- yang keduanya mengurusi bangunan dan pekerjaan umum;
- (3) Kanayakan Gedhong Kiwo, dan
- (4) Kanayakan Gedhong Tengen,
- yang keduanya mengurusi penghasilan dan keuangan.
Kementerian urusan luar adalah
- (5) Kanayakan Siti Sewu, dan
- (6) Kanayakan Bumijo,
- yang keduanya mengurusi tanah dan pemerintahan;
- (7) Kanayakan Panumping, dan
- (8) Kanayakan Numbak Anyar,
- yang keduanya mengurusi pertahanan.
Masing masing kementerian dipimpin oleh
Bupati Nayaka yang karena jabatannya juga merupakan komandan militer yang memimpin pasukan kerajaan dalam peperangan.
Untuk menangani urusan agama
Sultan
membentuk sebuah badan khusus yang disebut dengan Kawedanan Pengulon.
Badan ini mengurus masalah peribadatan, perawatan masjid-masjid
kerajaan, dan upacara-upacara keagamaan istana, serta urusan peradilan
kerajaan dalam lingkungan peradilan syariat
Islam.
Urusan regional di luar ibukota dibagi menjadi beberapa daerah
administratif yang dikepalai oleh pejabat senior dengan pangkat
Bupati. Mereka dikoordinasi oleh
Pepatih Dalem. Tugas-tugasnya meliputi pengelolaan administrasi lokal, hukum dan peradilan, pemungutan
pajak dan pengiriman hasil panenan melalui bawahannya,
Demang, dan
Bekel.
L. F. Dingemans,
residen Belanda di Yogyakarta (1926)
Setidaknya sampai
1792 Kasultanan Yogyakarta secara
de facto merupakan negara merdeka dan
VOC hanyalah mitra yang sejajar. Untuk menjamin posisinya maka
VOC menempatkan seorang
Residen di
Yogyakarta untuk mengawasi
Kesultanan. Kedudukan
Residen ini mulanya berada di bawah
Sultan dan sejajar dengan
Pepatih Dalem.
Daendels menaikkan kedudukan
Residen menjadi
Minister, yang merupakan menteri
Raja/
Ratu Belanda dan mewakili kehadiran
Gubernur Jenderal.
Dengan kedatangan
Raffles sistem pemerintahan berubah lagi.
Sultan tidak diperbolehkan mengadakan hubungan dengan negara lain sebab kedaulatan berada ditangan pemerintah
Inggris. Begitu pula dengan
Pepatih Dalem, Pengurus Kerajaan (
Rijkbestuurder), diangkat dan diberhentikan berdasar kebutuhan pemerintah
Inggris dan dalam menjalankan pekerjaannya harus sepengetahuan dan dengan pertimbangan
Residen Inggris.
Sultan mulai dibebaskan dari pemerintahan sehari-hari yang dipimpin oleh
Pepatih Dalem yang dikontrol oleh
Residen.
Selepas
Perang Diponegoro selesai pada 1830, pemerintahan Nagari yang berada di tangan
Pepatih Dalem dikontrol secara ketat sekali oleh
Belanda untuk mencegah terjadinya pemberontakan.
Kasultanan Yogyakarta secara
de facto dan
de jure menjadi
negara protektorat dari
Koninkrijk der Nederlanden, dengan status zelfbestuurende landschappen. Selain itu pemerintah
Hindia Belanda selalu mengajukan perjanjian
politik yang dinamakan kontrak
politik bagi calon
Sultan yang akan ditahtakan. Perjanjian ini diberlakukan terhadap
Sultan Hamengkubuwana V -
Sultan Hamengkubuwana IX. Kontrak
politik terakhir dibuat pada 18 Maret
1940 antara
Gubernur Hindia Belanda untuk Daerah
Yogyakarta, L. Adam dengan
HB IX.
Pada 1900-an
Belanda mencampuri birokrasi pemerintahan
Kesultanan secara intensif dengan maksud memasukkan
birokrasi barat modern. Untuk membiayai
birokrasi tersebut maka pada
1915 APBN Kasultanan Yogyakarta dibagi menjadi dua yaitu
APBN untuk Parentah Ageng Karaton dan
APBN untuk Parentah Nagari yang berada dalam kontrol
Hindia Belanda. Untuk belanja dan mengurus keperluan istana, setiap tahun
Sultan mendapat
uang ganti rugi yang disebut Daftar Sipil yang ditentukan dalam kontrak
politik yang dibuat sebelum
Sultan ditahtakan. Dengan demikian
Sultan benar benar tersingkir dari pemerintahan Nagari dan hanya berperan di istana saja.
Perubahan besar dalam pemerintahan terjadi pada saat
Sultan Hamengkubuwono IX (HB IX) naik tahta pada tahun
1940, khususnya selama pendudukan
Jepang (
1942-
1945). Secara perlahan namun pasti,
Sultan melakukan restorasi (bandingkan dengan
restorasi Meiji).
Sultan membentuk badan-badan pemerintahan baru untuk menampung urusan pemerintahan yang diserahkan oleh
Tentara Pendudukan
Jepang. Badan tersebut dinamakan
Paniradya yang masing-masing dikepalai oleh
Paniradyapati.
Paniradyapati tidak lagi berada di bawah kekuasaan
Pepatih Dalem melainkan langsung berada di bawah kekuasaan
Sultan. Dengan perlahan namun pasti
Sultan memulihkan kembali kekuasaannya selaku kepala pemerintahan.
Alun-alun Lor, saksi bisu kemegahan sebuah pemerintahan negara
Pada pertengahan
15 Juli 1945,
Pepatih Dalem terakhir, KPHH
Danurejo VIII, mengundurkan diri karena memasuki usia pensiun. Sejak saat itu
Sultan tidak menujuk lagi
Pepatih Dalem sebagai penggantinya melainkan mengambil alih kembali kekuasaan pemerintahan negara. Sebagai kelanjutannya
birokrasi kesultanan dibedakan menjadi dua bagian yaitu urusan dalam istana (
Imperial House)
dan urusan luar istana. Urusan dalam istana ditangani oleh Parentah
Ageng Karaton yang mengkoordinasikan seluruh badan maupun kantor
pemerintahan yang berada di istana yang terdiri dari beberapa badan atau
kantor Semuanya di pimpin dan diatur secara langsung oleh saudara atau
putera
Sultan.
Sultan meminpin sendiri lembaga luar istana, yang terdiri dari beberapa
Paniradya yang dipimpin oleh
Bupati. Daerah di sekitar istana dibagi menjadi lima kabupaten yang administrasi lokalnya dipimpin oleh
Bupati. Setelah kemerdekaan, sebagai konsekuensi integrasi
Kesultanan pada
Republik, status dan posisi serta
administrasi Kesultanan dijalankan berdasar peraturan
Indonesia.
Kesultanan diubah menjadi daerah
administrasi khusus dan
Sultan menjadi
Kepala Daerah Istimewa.
Kesultanan menjadi bagian dari
republik modern.
Hukum dan peradilan
Dalam sistem peradilan
kerajaan, kekuasaan
kehakiman tertinggi berada di tangan
Sultan. Dalam kekuasaan
kehakiman Kesultanan Yogyakarta terdapat empat macam badan peradilan yaitu
Pengadilan Pradoto,
Pengadilan Bale Mangu, Al Mahkamah Al Kabirah, dan
Pengadilan Darah Dalem.
Perubahan bidang
kehakiman mendasar terjadi pada
1831 ketika pemerintah
Hindia Belanda setahap demi setahap mencampuri dan mengambil alih kekuasaan
kehakiman dari pemerintahan
Kasultanan Yogyakarta. Mulai dari penunjukkan
Residen Kerajaan Hindia Belanda untuk
Kasultanan Yogyakarta sebagai ketua
Pengadilan Pradoto sampai dengan pembentukan
pengadilan Gubernemen (
Landraad) di
Yogyakarta. Akhirnya
Pengadilan Pradoto dan Bale Mangu dihapuskan masing-masing pada
1916 dan
1917 serta kewenangannya dilimpahkan pada Landraad
Yogyakarta. Setelah
Kasultanan Yogyakarta menyatakan sebagai bagian dari
Negara Republik Indonesia maka sistem peradilan yang digunakan adalah sistem peradilan
nasional.
Pengadilan yang digunakan adalah
Pengadilan Negeri sebagai ganti dari Landraad
Yogyakarta. Pada
1947 Pemerintah Pusat
Indonesia menghapuskan
pengadilan kerajaan yang terakhir,
Pengadilan Darah Dalem.
Dalam sistem
hukum kerajaan pernah digunakan sebuah
Kitab Undang-undang Hukum (KUH)
Kesultanan yang disebut dengan nama
Kitab Angger-angger yang disusun bersama oleh
Kasultanan Yogyakarta dan
Kasunanan Surakarta pada
1817. KUH ini terdiri dari lima/enam
buku (volume) yaitu
Angger Aru-biru, Angger Sadoso, Angger Gunung, Angger Nawolo Pradoto Dalem, Angger Pradoto Akhir (khusus
Yogyakarta), dan
Angger Ageng. Seiring dengan berdirinya
Landraad Yogyakarta maka KUH pun diganti dengan KUH
Belanda seperti
Burgerlijk Wetboek dan
Wetboek van Strafrecht.
Ekonomi dan agraria
Sumber ekonomi utama yang tersedia bagi Kesultanan Yogyakarta adalah
tanah, hutan kayu keras, perkebunan, pajak, dan uang sewa. Oleh karena
itu sistem ekonomi tidak bisa lepas dari sistem
agraria.
Sultan menguasai seluruh tanah di Kesultanan Yogyakarta. Dalam
birokrasi kerajaan, pertanahan diurus oleh Kementerian Pertanahan,
Kanayakan Siti Sewu. Urusan tanah di Kesultanan Yogyakarta dibagi
menjadi dua bentuk yaitu tanah yang diberikan Sultan kepada anggota
keluarga kerajaan dan tanah yang diberikan kepada pegawai kerajaan.
Tanah tersebut berlokasi teritori Nagara Agung, khususnya daerah
Mataram, dan disebut sebagai
tanah lungguh (
apanage land/tanah
jabatan). Tanah yang berada dalam pemeliharaan para keluarga kerajaan
dan pegawai kerajaan tersebut juga digunakan oleh masyarakat umum
sebagai tempat tinggal dan pertanian dari generasi ke generasi. Sebagai
imbalannya mereka menyetor sebagian hasil panen sebagai bentuk pajak.
Sekalipun kaum ningrat dan rakyat umum memiliki kebebasan dalam
mengatur, mengolah, dan mendiami tanah tersebut mereka tidak diijinkan
untuk menjualnya.
Selain itu kerajaan juga menerima penerimaan yang besar dari penebangan hutan kayu keras dalam skala besar sejak Sultan
HB I. Pada
1821 pemerintahan
Hindia Belanda
memperoleh hak atas hasil penebangan dari hutan kayu keras dan istana
bertanggung jawab atas manajemen dan eksploitasinya. Pada
1848
sebuah peraturan mengharuskan Sultan memenuhi kebutuhan kayu keras
pemerintah jajahan dan dalam ganti rugi Sultan memperoleh biaya
penebangan dan pengangkutan kayu. Pada
1904
masa pemerintahan HB VII, manajemen hutan kayu keras di Gunung Kidul
diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda. Sebagai kompensasi atas
persetujuan itu istana memperoleh kayu keras gratis untuk konstruksi
istana
Ambar Rukmo dan
Ambar Winangun.
Perkebunan yang dikembangkan di Yogyakarta, terutama setelah
1830,
adalah kopi, tebu, nila, dan tembakau. Kebanyakan perkebunan ditangani
oleh perkebunan swasta asing. Jumlah perkebunan yang semula ada 20 buah
pada tahun 1839 meningkat menjadi 53 pada tahun
1880, seiring pertumbuhan ekonomi, sistem penyewaan tanah, dan pembangunan infrastruktur.
Restrukturisasi pada zaman
HB IX karena dihadapkan pada beban ekonomi dan sumber yang terbatas. Pada
1942,
Sultan tidak melaporkan secara akurat jumlah produksi beras, ternak,
dan produk lain untuk melindungi rakyat dari Jepang. Sultan juga
membangun kanal guna meningkatkan produksi beras dan untuk mencegah
rakyat Yogyakarta dijadikan romusha oleh Jepang.
Kebudayaan, pendidikan, dan kepercayaan
Gerbang Danapratapa, Keraton Yogyakarta, antara seni, filsafat,
kosmologi, kebiasaan umum (adat istiadat), sistem kepercayaan, pandangan
hidup, dan pendidikan yang tak terpisahkan dalam kebudayaan Jawa.
Sebagaimana masyarakat
Jawa
pada umumnya, kebudayaan di Kesultanan Yogyakarta tidak begitu memiliki
batas yang tegas antar aspeknya. Kebiasaan umum (adat istiadat),
kepercayaan, seni, pandangan hidup, pendidikan, dan sebagainya saling
tumpang tindih, bercampur dan hanya membentuk suatu gradasi yang kabur.
Sebagai contoh seni arsitektur bangunan
keraton tidak lepas dari konsep
“Raja Gung Binathara”
(raja yang agung yang dihormati bagaikan dewa) yang merupakan pandangan
hidup masyarakat yang juga menjadi bagian dari sistem kepercayaan
(penghormatan kepada dewa/tuhan).
Beberapa tarian tertentu, misalnya
Bedaya Ketawang, selain
dianggap sebagai seni pertunjukan juga bersifat sakral sebagai bentuk
penghormatan kepada leluhur pendiri kerajaan dan penguasa alam. Begitu
pula benda-benda tertentu dianggap memiliki kekuatan magis dan berkaitan
dengan dunia roh dalam pandangan hidup masyarakat. Oleh karenanya dalam
pergaulan sehari-haripun ada pantangan yang bila dilanggar akan
menimbulkan kutuk tertentu bagi pelakunya. Ini pula yang menimbulkan
tata kebiasaan yang diberlakukan dengan ketat.
Kebudayaan tersebut diwariskan dari generasi ke generasi berdasar
cerita dari mulut ke mulut. Pelajaran tentang kehidupan disampaikan
melalui cerita-cerita
wayang yang pada akhirnya menumbuhkan
kesenian pertunjukkan wayang kulit maupun wayang jenis lain. Selain itu
wejangan dan nasihat tentang pandangan hidup dan sistem kepercayaan juga
ditransmisikan dalam bentuk
tembang (lagu) maupun bentuk sastra
lainnya. Semua hal itu tidak lepas dari sistem bahasa yang digunakan dan
membuatnya berkembang. Dalam masyarakat dipakai tiga jenjang bahasa
yaitu
Ngoko (bahasa Jawa rendah),
Krama Andhap (bahasa Jawa tengah), dan
Krama Inggil
(bahasa Jawa tinggi). Aturan pemakaian bahasa tersebut sangat rumit,
namun tercermin budaya penghormatan dan saling menghargai. Ada satu lagi
bahasa yang khusus dan hanya digunakan di lingkungan istana yang
disebut dengan Bagongan yang lebih mencerminkan pandangan hidup
kesetaraan kedudukan di antara pemakainya.
Para penari tarian Beksan Entheng, sekitar tahun 1870.
Perkembangan budaya sebagaimana dijelaskan di awal tidak lepas pula
dari sistem pendidikan. Pada mulanya sistem pendidikan yang digunakan
meneruskan sistem yang digunakan zaman Mataram. Pendidikan formal hanya
dapat dinikmati oleh keluarga kerajaan. Pendidikan itu meliputi
pendidikan agama dan sastra. Pendidikan agama diselenggarakan oleh
Kawedanan Pengulon. Pendidikan ini berlokasi di kompleks masjid raya kerajaan. Pendidikan sastra diselenggarakan oleh
Tepas Kapunjanggan. Kedua pendidikan ini satu sistem dan tidak terpisah. Para siswa diberi pelajaran agama,
bahasa Jawa, budaya, dan literatur (
serat dan
babad).
Pendidikan barat baru diperkenalkan oleh pemerintah penjajahan pada awal abad 20. Pada pemerintahan Sultan
HB VIII sistem pedidikan dibuka. Mula-mula sekolah dasar dibuka di
Tamanan dan kemudian dipindahkan di
Keputran.
Sekolah ini masih ada hingga sekarang dalam bentuk SD N Keputran.
Pendidikan lanjut memanfaatkan pendidikan yang dibuka oleh pemerintah
penjajahan seperti
HIS,
Mulo, dan
AMS B. Pada
1946, kesultanan ikut serta dalam mendirikan Balai Perguruan Kebangsaan Gajah Mada yang pada
1949 dijadikan
UGM.
Sebagai sebuah Kesultanan,
Islam merupakan kepercayaan resmi kerajaan. Sultan memegang kekuasaan tertinggi dalam bidang kepercayaan dengan gelar
Sayidin Panatagama Khalifatullah.
Walaupun demikian kepercayaan-kepercayaan lokal (baca kejawen) masih
tetap dianut rakyat disamping mereka menyatakan diri sebagai orang
Islam. Berbagai ritus kepercayaan lokal masih dijalankan namun doa-doa
yang dipanjatkan diganti dengan menggunakan bahasa Arab. Hal ini
menujukkan sebuah kepercayaan baru yang merupakan sinkretis antara
kepercayaan Islam dan kepercayaan lokal. Gerakan
puritan untuk membersihkan Islam dari pengaruh kepercayaan lokal dan westernisasi baru muncul pada
1912 dari kalangan
Imam Kerajaan. Pada perkembangan selanjutnya kawasan
Kauman Yogyakarta yang menjadi tempat tinggal para Imam Kerajaan menjadi pusat gerakan puritan itu.
Pertahanan dan keamanan
Pada mulanya sistem birokrasi pemerintahan menganut sistem militer
sebagaimana kerajaan Mataram. Seorang pegawai pemerintah juga merupakan
seorang serdadu militer. Begitu pula para pimpinan kabinet kerajaan
karena jabatannya merupakan komandan militer, bahkan kalau perlu mereka
harus ikut bertempur membela kerajaan. Walaupun begitu untuk urusan
pertahanan terdapat tentara kerajaan yang dikenal dengan
abdi Dalem Prajurit.
Tentara Kesultanan Yogyakarta hanya terdiri dari angkatan darat saja
yang dikelompokkan menjadi sekitar 26 kesatuan. Selain itu terdapat pula
paramiliter yang berasal dari rakyat biasa maupun dari pengawal para penguasa di Manca Nagara.
Pada paruh kedua abad 18 sampai awal abad 19 tentara kerajaan di
Yogyakarta merupakan kekuatan yang patut diperhitungkan. Walaupun Sultan
merupakan
panglima tertinggi
namun dalam keseharian hanya sebagian saja yang berada di dalam
pengawasan langsung oleh Sultan. Sebagian yang lain berada di dalam
pengawasan
Putra mahkota
dan para pangeran serta pejabat senior yang memimpin kementerian/kantor
pemerintahan. Kekuatan pertahanan menyurut sejak dimakzulkannya HB II
oleh
Daendels pada
1810 dan ditanda tanganinya perjanjian antara HB III dengan
Raffles pada
1812. Perjanjian itu mencantumkan Sultan harus melakukan
demiliterisasi
birokrasi kesultanan. Sultan, pangeran, dan penguasa daerah tidak boleh
memiliki tentara kecuali dengan izin pemerintah Inggris dan itupun
hanya untuk menjaga keselamatan pribadi sang pejabat.
Kekuatan pertahanan benar-benar lumpuh setelah selesainya
perang Diponegoro pada tahun
1830.
Tentara Kesultanan Yogyakarta hanya menjadi pengawal pribadi Sultan,
Putra Mahkota, dan Pepatih Dalem. Jumlahnya sangat dibatasi dan
persenjataannya tidak lebih dari senjata tajam dan beberapa pucuk
senapan tua. Pertahanan menjadi tanggung jawab pemerintah Hindia
Belanda. Sebagai pengganti kekuatan militer yang dikebiri Kesultanan
Yogyakarta dapat membentuk polisi untuk menjaga keamanan warganya. Pada
1942, untuk mengindari keterlibatan kesultanan dalam
perang Pasifik
Sultan membubarkan tentara kesultanan. Keputusan ini kemudian
dikukuhkan dalam perintah Pemerintah Militer Angkatan Darat XVI Jepang
pada bulan Agustus 1942. Dengan demikian kesultanan tidak memiliki lagi
kekuatan militer.
Prajurit Kraton Yogyakarta[3]
Lambang Keraton Yogyakarta. Lambang ini digunakan pada seluruh Abdi
Dalem Perajurit Keraton Yogyakarta yaitu sebagai pin pada baju seragam
dan sebagai pengunci ikat pinggang untuk perlengkapan seragam Perajurit.
Layaknya sebuah kerajaan, Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
atau lebih dikenal dengan Kraton Yogyakarta juga mempunyai beberapa
tentara atau satuan-satuan militer. Satuan-satuan militer di Keraton
Yogyakarta ini disebut dengan Abdi Dalem Prajurit. Dalam sejarahnya,
Kraton Yogyakarta pernah memiliki 15 satuan militer dan masing-masing
memiliki nama dan fungsi yang berbeda-beda. Dari 15 satuan militer yang
keseluruhannya satuan infanteri tersebut, saat ini baru diaktifkan
sebanyak 11 satuan setelah sempat dibubarkan oleh Sri Sultan Hamengku
Buwana IX sebagai antisipasi pemanfaatan Abdi Dalem Prajurit oleh Jepang
untuk digunakan dalam Perang Pasifik Timur di masa pendudukan Jepang
antara tahun 1942-1945.
Pada awal pembentukannya oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I (ketika
itu masih bernama Pangeran Mangkubumi) satuan-satuan Abdi Dalem Prajurit
sangatlah kuat. Tercatat Abdi Dalem Prajurit pernah mengalahkah Pasukan
Kompeni Belanda di masa pengasingan Sri Sultan Hamenku Buwana I sebelum
diadakannya Perjanijian Giyanti tahun 1755. Pada
pertempuran-pertempuran tersebut, Abdi Dalem Prajurit bahkan berhasil
membunuh perwira-perwira Belanda seperti Letnan Coen yang tewas dalam
Perang Gowang, Letna Van Gier tewas pada Perang Grobogan, Letnan Foster
tewas dalam Perang Gunung Tidar dan Mayor Clereq dan Kapten Winter yang
tewas dalam Perang Jenar/Bogowonto bersama 3.801 Prajurit Kompeni
Belanda lainnya. Bahkan ada sebuah pusaka Kraton Yogyakarta berupa
Tombak yang bernama Kangjeng Kyai Klerk sebagai bentuk pemulyaan ketika
tombak tersebut digunakan untuk membunuh Mayor Clereq pada Perang
Jenar/Bogowonto oleh salah seorang Abdi Dalem Perajurit Mantrijero.
Untuk saat ini Abdi Dalem Prajurit Kraton Yogyakarta tidaklah kuat
dan tidak pula memiliki fungsi dan tugas untuk bertempur. Seluruh
kesatuan Abdi Dalem Prajurit yang ada diperuntukkan untuk mengawal dalam
upacara-upacara adat Kraton Yogyakarta seperti pada saat Upacara
Gunungan atau lebih dikenal dengan Gerebeg yang diadakan tiga kali dalam
setahun, yaitu Grebeg Sekaten, Grebeg Maulud, dan Grebeg Syawal.
Berikut adalah sekilas tentang 15 satuan Abdi Dalem Prajurit Kraton
Yogyakarta.
- Abdi Dalem Prajurit Wirabraja.
- Abdi Dalem Prajurit Dhaheng
- Abdi Dalem Prajurit Patangpuluh
- Abdi Dalem Prajurit Jagakarya
- Abdi Dalem Prajurit Prawiratama
- Abdi Dalem Prajurit Nyutra
- Abdi Dalem Prajurit Ketanggung
- Abdi Dalem Prajurit Mantrijero
- Abdi Dalem Prajurit Bugis
- Abdi Dalem Prajurit Surakarsa
- Abdi Dalem Prajurit Langenhastra
- Abdi Dalem Prajurit Somaatmaja
- Abdi Dalem Prajurit Jager
- Abdi Dalem Prajurit Suranata
- Abdi Dalem Prajurit Suragama