Senin, 29 Desember 2014

Kesamaan Derajat dalam Bersosialisasi di Masyarakat

Kesamaan Derajat dalam Bersosialisasi di Masyarakat

Dalam suatu ruang lingkup sosial sering ditemukan tentang pelapisan sosial. Pelapisan sosial atau stratifikasi sosial (social stratification) adalah pembedaan atau pengelompokan para anggota masyarakat secara bertingkat. Definisi sistematik antara lain dikemukakan oleh Pitrim A. Sorokin bahwa pelapisan sosial merupakan pembedaan penduduk atau masyaraka ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah adanya lapisan-lapisan di dalam masyarakat, ada lapisan yang tinggi dan ada lapisan-lapisan di bawahnya. Setiap lapisan tersebut disebut strata sosial. P.J Bouman menggunakan istilah tingkatan atau dalam bahasa belanda disebut stand, yaitu golongan manusia yang ditandai dengan suatu cara hidup dalam kesadaran akan beberapa hak istimewa tertentu dan menurut gengsi kemasyarakatan. Istilah stand juga dipakai oleh Max Weber.


Pengelompokan-pengelompokan tersebut bisa dilihat dari ukuran kekayaan, jabatan dan pendidikan seseorang. Misalkan orang yang mempunyai rumah atau mobil yang paling bagus ditempatkan pada tingkatan paling atas. Atau bisa juga orang yang mempunyai jabatan yang paling tinggi ditempatkan pada tingkatan yang paling tinggi. Begitu juga orang yang mempunyai pendidikan yang tinggi ditempatkan pada tingkatan yang paling tinggi. Kalau dilihat dari sejarahnya, pengelompokan-pengelompokan strata sosial tersebut sudah sejak dari awal kehidupan manusia itu sendiri. Contoh yang paling nyata adalah sistem kasta pada masyarakat India. Selain itu sejarah juga pernah mencatat mengenai sistem perbudakan di negara barat bahwa seorang kulit hitam tingkatannya tidak sama dengan seorang kulit putih.

Kesamaan derajat adalah suatu sifat yang menghubungankan antara manusia dengan lingkungan masyarakat umumnya timbal balik, maksudnya orang sebagai anggota masyarakat memiliki hak dan kewajiban, baik terhadap masyarakat maupun terhadap pemerintah dan Negara. Hak dan kewajiban sangat penting ditetapkan dalam perundang-undangan atau Konstitusi. Undang-undang itu berlaku bagi semua orang tanpa terkecuali dalam arti semua orang memiliki kesamaan derajat. Kesamaan derajat ini terwujud dalam jaminan hak yang diberikan dalam berbagai faktor kehidupan.

Kesamaan derajat dalam bersosialisasi dalam masyarakat tidak terbatas pada faktor jenis kelamin (pria atau wanita), fisik (cacat atau sempurna, kulih putih atau kulit hitam), agama, umur (tua atau muda), suku, ras, agama, harta dan jabatan. Kesamaan derajat dalam bersosialisasi di Masyarakat dapat terwujud dalam berbagai kegiatan sosial di masyarakat seperti mengadakan gotong royong. Baik orang kaya maupun orang miskin, jika memiliki kesadaran yang sama tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan maka mereka semua akan membaur menjadi satu, bergotong royong untuk membersihkan lingkungan tempat tinggal mereka. Kegiatan lain yang dapat di wujudkan dalam kesamaan derajat  adalah musyawarah dalam menyelesaikan konflik atau merancang suatu kegiatan rutin di lingkungan sekitar. Berbagai pendapat yang dikeluarkan baik pendapat orang tua maupun pendapat pemuda yang ikut dalam musyawarah dapat diterima dan diskusikan bersama untuk mencapai suatu keputusan yang terbaik. 

Referensi :
1. http://ruciantassani.blogspot.com/2013/11/tugas-isd-5-pelapisan-
    sosial-dan.html
2. Wikipedia

Minggu, 28 Desember 2014

Hukum di Indonesia

Hukum adalah suatu sistem yang dibuat manusia untuk membatasi tingkah laku manusia agar tingkah laku manusia dapat terkontrol, hukum adalah aspek terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan,  Hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Oleh karena itu setiap masyarat berhak untuk mendapat pembelaan didepan hukum sehingga dapat di artikan bahwa hukum adalah peraturan atau ketentuan-ketentuan tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur kehidupan masyarakat dan menyediakan sanksi bagi pelanggarnya.
Sumber Gambar : Hukum

Thailand

Bicara tentang negara yang paling baik aspek sosialnya, hal ini tentunya didominasi oleh negara-negara maju. Irlandia dikenal dengan sejarah toleransinya. Sebuah survei tahun 2012 oleh Komisi Eropa tentang diskriminasi di Uni Eropa menemukan bahwa 79 persen dari penduduk Irlandia menggambarkan diskriminasi berdasarkan agama atau kepercayaan adalah langka atau tidak ada di Irlandia. Dalam berbagai penelitian pun, Irlandia termasuk ke dalam salah satu negara paling ramah sedunia dalam menyambut wisatawannya. Walaupun tidak dapat disejajarkan dengan baiknya aspek sosial yang ada di negara maju tersebut, beberapa negara berkembang pun mempunyai aspek sosial yang tergolong baik. Seperti contohnya adalah negara Thailand.

Ada suatu kebiasaan orang Thailand dalam menyapa orang lain, yaitu dengan cara  salam melibatkan gerakan doa seperti dengan tangan dan juga mungkin termasuk membungkuk sedikit kepala. Salam ini sering disertai dengan senyum tenang melambangkan sebuah disposisi ramah dan sikap yang menyenangkan. Thailand sering disebut sebagai "Tanah Senyuman" dalam brosur wisata.

Yogyakarta

Mengikuti kerajaan Mataram, wilayah Kesultanan Yogyakarta pada mulanya dibagi menjadi beberapa lapisan yaitu Nagari Ngayogyakarta (wilayah ibukota), Nagara Agung (wilayah utama), dan Manca Nagara (wilayah luar). Keseluruhan wilayah Nagari Ngayogyakarta dan wilayah Nagara Agung memiliki luas 53.000 karya (sekitar 309,864500 km persegi), dan keseluruhan wilayah Manca Nagara memiliki luas 33.950 karya (sekitar 198,488675 km persegi). Selain itu, masih terdapat tambahan wilayah dari Danurejo I di Banyumas, seluas 1.600 karya (sekitar 9,3544 km persegi).
  • Nagari Ngayogyakarta meliputi:
    (1) Kota tua Yogyakarta (di antara Sungai Code dan Sungai Winongo), dan
    (2) Daerah sekitarnya dengan batas Masjid Pathok Negara.
  • Nagara Agung meliputi:
    (1) Daerah Siti Ageng Mlaya Kusuma (wilayah Siti Ageng [suatu wilayah di antara Pajang dengan Demak] bagian timur yang tidak jelas batasnya dengan wilayah Kesunanan),
    (2) Daerah Siti Bumijo (wilayah Kedu dari Sungai Progo sampai Gunung Merbabu),
    (3) Daerah Siti Numbak Anyar (wilayah Bagelen antara Sungai Bagawanta dan Sungai Progo),
    (4) Daerah Siti Panekar (wilayah Pajang bagian timur, dari Sungai Samin ke selatan sampai Gunungkidul, ke timur sampai Kaduwang), dan
    (5) Daerah Siti Gadhing Mataram (wilayah Mataram Ngayogyakarta [suatu wilayah di antara Gunung Merapi dengan Samudera Hindia]).
Pembagian Mataram dan Manca Nagara pada tahun 1757.
  • Manca Nagara meliputi:
    (1) Wilayah Madiun yang terdiri dari daerah-daerah:
    (a) Madiun Kota,
    (b) Magetan,
    (c) Caruban, dan
    (d) Setengah Pacitan;
    (2) Wilayah Kediri yang meliputi daerah-daerah:
    (a) Kertosono,
    (b) Kalangbret, dan
    (c) Ngrowo (Tulung Agung);
    (3) Wilayah Surabaya yang meliputi daerah Japan (Mojokerto);
    (4) Wilayah Rembang yang meliputi daerah-daerah:
    (a) Jipang (Ngawen) dan
    (b) Teras Karas (Ngawen);
    (5) Wilayah Semarang yang meliputi daerah-daerah:
    (a) Selo atau Seselo (makam nenek moyang raja Mataram),
    (b) Warung (Kuwu-Wirosari), dan
    (c) Sebagian Grobogan.
Wilayah-wilayah Kesultanan tersebut bukan sebuah wilayah yang utuh, namun terdapat banyak enklave maupun eksklave wilayah Kesunanan dan Mangku Negaran. Wilayah-wilayah tersebut merupakan hasil dari Perjanjian Palihan Nagari yang ditandatangani di Giyanti. Perjanjian itu juga disebut Perjanjian Giyanti.
Dalam perjalanan waktu wilayah tersebut berkurang akibat perampasan oleh Daendels dan Raffles. Setelah Perang Diponegoro selesai pada 1830, pemerintah Hindia Belanda akhirnya merampas seluruh wilayah Manca Nagara. Pada tahun itu pula ditandatangani Perjanjian Klaten pada 27 September 1830 yang menegaskan wilayah dan batas-batas Kasultanan Yogyakarta dengan Kasunanan Surakarta. Wilayah Kasultanan Yogyakarta hanya meliputi Mataram dan Gunungkidul dengan luas 2.902,54 km persegi. Di wilayah tersebut terdapat enklave Surakarta (Kotagede dan Imogiri), Mangku Negaran (Ngawen), dan Paku Alaman (Kabupaten Kota Paku Alaman).

Penduduk

Potret putra dan putri bangsawan Kesultanan Yogyakarta (1870).
Pembagian wilayah menurut Perjanjian Palihan Nagari juga diikuti dengan pembagian pegawai kerajaan (abdi Dalem) dan rakyat (kawula Dalem) yang menggunakan atau memakai wilayah tersebut. Hal ini tidak terlepas dari sistem pemakaian tanah pada waktu itu yang menggunakan sistem lungguh (tanah jabatan). Diperkirakan penduduk kesultanan pada waktu perjanjian berjumlah 522.300 jiwa, dengan asumsi tanah satu karya dikerjakan oleh satu keluarga dengan anggota enam orang. Pada 1930 penduduk meningkat menjadi 1.447.022 jiwa.
Dalam strata sosial, penduduk dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu bangsawan (bandara), pegawai (abdi Dalem) dan rakyat jelata (kawula Dalem). Sultan yang merupakan anggota lapisan bangsawan menempati urutan puncak dalam sistem sosial. Anggota lapisan bangsawan ini memiliki hubungan kekerabatan dengan Sultan yang pernah atau sedang memerintah. Namun hanya bangsawan keturunan 1-4 (anak, cucu, anak dari cucu, dan cucu dari cucu) dari Sultan yang termasuk Keluarga Kerajaan dalam artian mereka memiliki kedudukan dan peran dalam upacara kerajaan.
Lapisan pegawai mendasarkan kedudukan mereka dari surat keputusan yang dikeluarkan oleh Sultan. Lapisan ini dibedakan menjadi tiga yaitu pegawai Keraton, pegawai Kepatihan, Kabupaten, dan Kapanewon, serta pegawai yang diperbantukan pada pemerintah penjajahan. Lapisan rakyat jelata dibedakan atas penduduk asli dan pendatang dari luar. Selain itu terdapat juga orang-orang asing maupun keturunannya yang bukan warga negara Kasultanan Yogyakarta yang berdiam di wilayah kesultanan.

Pemerintahan dan politik

Koridor di depan Gedhong Jene dan Gedhong Purworetno. Dari bangunan yang disebut terakhir ini Sultan mengendalikan seluruh kerajaan.
Pemerintahan Kasultanan Yogyakarta mulanya diselenggarakan dengan menggunakan susunan pemerintahan warisan dari Mataram. Pemerintahan dibedakan menjadi dua urusan besar yaitu Parentah Lebet (urusan dalam) yang juga disebut Parentah Ageng Karaton, dan Parentah Jawi (urusan luar) yang juga disebut Parentah Nagari. Sultan memegang seluruh kekuasaan pemerintahan negara. Dalam menjalankan kewajibannya sehari-hari Sultan dibantu lembaga Pepatih Dalem yang bersifat personal.[2]
Pada mulanya pemerintahan urusan dalam dan urusan luar masing-masing dibagi menjadi empat kementerian yang dinamakan Kanayakan. Kementerian urusan dalam adalah:
(1) Kanayakan Keparak Kiwo, dan
(2) Kanayakan Keparak Tengen,
yang keduanya mengurusi bangunan dan pekerjaan umum;
(3) Kanayakan Gedhong Kiwo, dan
(4) Kanayakan Gedhong Tengen,
yang keduanya mengurusi penghasilan dan keuangan.
Kementerian urusan luar adalah
(5) Kanayakan Siti Sewu, dan
(6) Kanayakan Bumijo,
yang keduanya mengurusi tanah dan pemerintahan;
(7) Kanayakan Panumping, dan
(8) Kanayakan Numbak Anyar,
yang keduanya mengurusi pertahanan.
Masing masing kementerian dipimpin oleh Bupati Nayaka yang karena jabatannya juga merupakan komandan militer yang memimpin pasukan kerajaan dalam peperangan.
Untuk menangani urusan agama Sultan membentuk sebuah badan khusus yang disebut dengan Kawedanan Pengulon. Badan ini mengurus masalah peribadatan, perawatan masjid-masjid kerajaan, dan upacara-upacara keagamaan istana, serta urusan peradilan kerajaan dalam lingkungan peradilan syariat Islam. Urusan regional di luar ibukota dibagi menjadi beberapa daerah administratif yang dikepalai oleh pejabat senior dengan pangkat Bupati. Mereka dikoordinasi oleh Pepatih Dalem. Tugas-tugasnya meliputi pengelolaan administrasi lokal, hukum dan peradilan, pemungutan pajak dan pengiriman hasil panenan melalui bawahannya, Demang, dan Bekel.
L. F. Dingemans, residen Belanda di Yogyakarta (1926)
Setidaknya sampai 1792 Kasultanan Yogyakarta secara de facto merupakan negara merdeka dan VOC hanyalah mitra yang sejajar. Untuk menjamin posisinya maka VOC menempatkan seorang Residen di Yogyakarta untuk mengawasi Kesultanan. Kedudukan Residen ini mulanya berada di bawah Sultan dan sejajar dengan Pepatih Dalem. Daendels menaikkan kedudukan Residen menjadi Minister, yang merupakan menteri Raja/Ratu Belanda dan mewakili kehadiran Gubernur Jenderal.
Dengan kedatangan Raffles sistem pemerintahan berubah lagi. Sultan tidak diperbolehkan mengadakan hubungan dengan negara lain sebab kedaulatan berada ditangan pemerintah Inggris. Begitu pula dengan Pepatih Dalem, Pengurus Kerajaan (Rijkbestuurder), diangkat dan diberhentikan berdasar kebutuhan pemerintah Inggris dan dalam menjalankan pekerjaannya harus sepengetahuan dan dengan pertimbangan Residen Inggris. Sultan mulai dibebaskan dari pemerintahan sehari-hari yang dipimpin oleh Pepatih Dalem yang dikontrol oleh Residen.
Selepas Perang Diponegoro selesai pada 1830, pemerintahan Nagari yang berada di tangan Pepatih Dalem dikontrol secara ketat sekali oleh Belanda untuk mencegah terjadinya pemberontakan. Kasultanan Yogyakarta secara de facto dan de jure menjadi negara protektorat dari Koninkrijk der Nederlanden, dengan status zelfbestuurende landschappen. Selain itu pemerintah Hindia Belanda selalu mengajukan perjanjian politik yang dinamakan kontrak politik bagi calon Sultan yang akan ditahtakan. Perjanjian ini diberlakukan terhadap Sultan Hamengkubuwana V - Sultan Hamengkubuwana IX. Kontrak politik terakhir dibuat pada 18 Maret 1940 antara Gubernur Hindia Belanda untuk Daerah Yogyakarta, L. Adam dengan HB IX.
Pada 1900-an Belanda mencampuri birokrasi pemerintahan Kesultanan secara intensif dengan maksud memasukkan birokrasi barat modern. Untuk membiayai birokrasi tersebut maka pada 1915 APBN Kasultanan Yogyakarta dibagi menjadi dua yaitu APBN untuk Parentah Ageng Karaton dan APBN untuk Parentah Nagari yang berada dalam kontrol Hindia Belanda. Untuk belanja dan mengurus keperluan istana, setiap tahun Sultan mendapat uang ganti rugi yang disebut Daftar Sipil yang ditentukan dalam kontrak politik yang dibuat sebelum Sultan ditahtakan. Dengan demikian Sultan benar benar tersingkir dari pemerintahan Nagari dan hanya berperan di istana saja.
Perubahan besar dalam pemerintahan terjadi pada saat Sultan Hamengkubuwono IX (HB IX) naik tahta pada tahun 1940, khususnya selama pendudukan Jepang (1942-1945). Secara perlahan namun pasti, Sultan melakukan restorasi (bandingkan dengan restorasi Meiji). Sultan membentuk badan-badan pemerintahan baru untuk menampung urusan pemerintahan yang diserahkan oleh Tentara Pendudukan Jepang. Badan tersebut dinamakan Paniradya yang masing-masing dikepalai oleh Paniradyapati. Paniradyapati tidak lagi berada di bawah kekuasaan Pepatih Dalem melainkan langsung berada di bawah kekuasaan Sultan. Dengan perlahan namun pasti Sultan memulihkan kembali kekuasaannya selaku kepala pemerintahan.
Alun-alun Lor, saksi bisu kemegahan sebuah pemerintahan negara
Pada pertengahan 15 Juli 1945, Pepatih Dalem terakhir, KPHH Danurejo VIII, mengundurkan diri karena memasuki usia pensiun. Sejak saat itu Sultan tidak menujuk lagi Pepatih Dalem sebagai penggantinya melainkan mengambil alih kembali kekuasaan pemerintahan negara. Sebagai kelanjutannya birokrasi kesultanan dibedakan menjadi dua bagian yaitu urusan dalam istana (Imperial House) dan urusan luar istana. Urusan dalam istana ditangani oleh Parentah Ageng Karaton yang mengkoordinasikan seluruh badan maupun kantor pemerintahan yang berada di istana yang terdiri dari beberapa badan atau kantor Semuanya di pimpin dan diatur secara langsung oleh saudara atau putera Sultan.
Sultan meminpin sendiri lembaga luar istana, yang terdiri dari beberapa Paniradya yang dipimpin oleh Bupati. Daerah di sekitar istana dibagi menjadi lima kabupaten yang administrasi lokalnya dipimpin oleh Bupati. Setelah kemerdekaan, sebagai konsekuensi integrasi Kesultanan pada Republik, status dan posisi serta administrasi Kesultanan dijalankan berdasar peraturan Indonesia. Kesultanan diubah menjadi daerah administrasi khusus dan Sultan menjadi Kepala Daerah Istimewa. Kesultanan menjadi bagian dari republik modern.

Hukum dan peradilan

Dalam sistem peradilan kerajaan, kekuasaan kehakiman tertinggi berada di tangan Sultan. Dalam kekuasaan kehakiman Kesultanan Yogyakarta terdapat empat macam badan peradilan yaitu Pengadilan Pradoto, Pengadilan Bale Mangu, Al Mahkamah Al Kabirah, dan Pengadilan Darah Dalem.
Perubahan bidang kehakiman mendasar terjadi pada 1831 ketika pemerintah Hindia Belanda setahap demi setahap mencampuri dan mengambil alih kekuasaan kehakiman dari pemerintahan Kasultanan Yogyakarta. Mulai dari penunjukkan Residen Kerajaan Hindia Belanda untuk Kasultanan Yogyakarta sebagai ketua Pengadilan Pradoto sampai dengan pembentukan pengadilan Gubernemen (Landraad) di Yogyakarta. Akhirnya Pengadilan Pradoto dan Bale Mangu dihapuskan masing-masing pada 1916 dan 1917 serta kewenangannya dilimpahkan pada Landraad Yogyakarta. Setelah Kasultanan Yogyakarta menyatakan sebagai bagian dari Negara Republik Indonesia maka sistem peradilan yang digunakan adalah sistem peradilan nasional. Pengadilan yang digunakan adalah Pengadilan Negeri sebagai ganti dari Landraad Yogyakarta. Pada 1947 Pemerintah Pusat Indonesia menghapuskan pengadilan kerajaan yang terakhir, Pengadilan Darah Dalem.
Dalam sistem hukum kerajaan pernah digunakan sebuah Kitab Undang-undang Hukum (KUH) Kesultanan yang disebut dengan nama Kitab Angger-angger yang disusun bersama oleh Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta pada 1817. KUH ini terdiri dari lima/enam buku (volume) yaitu Angger Aru-biru, Angger Sadoso, Angger Gunung, Angger Nawolo Pradoto Dalem, Angger Pradoto Akhir (khusus Yogyakarta), dan Angger Ageng. Seiring dengan berdirinya Landraad Yogyakarta maka KUH pun diganti dengan KUH Belanda seperti Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van Strafrecht.

Ekonomi dan agraria

Sumber ekonomi utama yang tersedia bagi Kesultanan Yogyakarta adalah tanah, hutan kayu keras, perkebunan, pajak, dan uang sewa. Oleh karena itu sistem ekonomi tidak bisa lepas dari sistem agraria. Sultan menguasai seluruh tanah di Kesultanan Yogyakarta. Dalam birokrasi kerajaan, pertanahan diurus oleh Kementerian Pertanahan, Kanayakan Siti Sewu. Urusan tanah di Kesultanan Yogyakarta dibagi menjadi dua bentuk yaitu tanah yang diberikan Sultan kepada anggota keluarga kerajaan dan tanah yang diberikan kepada pegawai kerajaan. Tanah tersebut berlokasi teritori Nagara Agung, khususnya daerah Mataram, dan disebut sebagai tanah lungguh (apanage land/tanah jabatan). Tanah yang berada dalam pemeliharaan para keluarga kerajaan dan pegawai kerajaan tersebut juga digunakan oleh masyarakat umum sebagai tempat tinggal dan pertanian dari generasi ke generasi. Sebagai imbalannya mereka menyetor sebagian hasil panen sebagai bentuk pajak. Sekalipun kaum ningrat dan rakyat umum memiliki kebebasan dalam mengatur, mengolah, dan mendiami tanah tersebut mereka tidak diijinkan untuk menjualnya.
Selain itu kerajaan juga menerima penerimaan yang besar dari penebangan hutan kayu keras dalam skala besar sejak Sultan HB I. Pada 1821 pemerintahan Hindia Belanda memperoleh hak atas hasil penebangan dari hutan kayu keras dan istana bertanggung jawab atas manajemen dan eksploitasinya. Pada 1848 sebuah peraturan mengharuskan Sultan memenuhi kebutuhan kayu keras pemerintah jajahan dan dalam ganti rugi Sultan memperoleh biaya penebangan dan pengangkutan kayu. Pada 1904 masa pemerintahan HB VII, manajemen hutan kayu keras di Gunung Kidul diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda. Sebagai kompensasi atas persetujuan itu istana memperoleh kayu keras gratis untuk konstruksi istana Ambar Rukmo dan Ambar Winangun.
Perkebunan yang dikembangkan di Yogyakarta, terutama setelah 1830, adalah kopi, tebu, nila, dan tembakau. Kebanyakan perkebunan ditangani oleh perkebunan swasta asing. Jumlah perkebunan yang semula ada 20 buah pada tahun 1839 meningkat menjadi 53 pada tahun 1880, seiring pertumbuhan ekonomi, sistem penyewaan tanah, dan pembangunan infrastruktur.
Restrukturisasi pada zaman HB IX karena dihadapkan pada beban ekonomi dan sumber yang terbatas. Pada 1942, Sultan tidak melaporkan secara akurat jumlah produksi beras, ternak, dan produk lain untuk melindungi rakyat dari Jepang. Sultan juga membangun kanal guna meningkatkan produksi beras dan untuk mencegah rakyat Yogyakarta dijadikan romusha oleh Jepang.

Kebudayaan, pendidikan, dan kepercayaan

Gerbang Danapratapa, Keraton Yogyakarta, antara seni, filsafat, kosmologi, kebiasaan umum (adat istiadat), sistem kepercayaan, pandangan hidup, dan pendidikan yang tak terpisahkan dalam kebudayaan Jawa.
Sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya, kebudayaan di Kesultanan Yogyakarta tidak begitu memiliki batas yang tegas antar aspeknya. Kebiasaan umum (adat istiadat), kepercayaan, seni, pandangan hidup, pendidikan, dan sebagainya saling tumpang tindih, bercampur dan hanya membentuk suatu gradasi yang kabur. Sebagai contoh seni arsitektur bangunan keraton tidak lepas dari konsep “Raja Gung Binathara” (raja yang agung yang dihormati bagaikan dewa) yang merupakan pandangan hidup masyarakat yang juga menjadi bagian dari sistem kepercayaan (penghormatan kepada dewa/tuhan).
Beberapa tarian tertentu, misalnya Bedaya Ketawang, selain dianggap sebagai seni pertunjukan juga bersifat sakral sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur pendiri kerajaan dan penguasa alam. Begitu pula benda-benda tertentu dianggap memiliki kekuatan magis dan berkaitan dengan dunia roh dalam pandangan hidup masyarakat. Oleh karenanya dalam pergaulan sehari-haripun ada pantangan yang bila dilanggar akan menimbulkan kutuk tertentu bagi pelakunya. Ini pula yang menimbulkan tata kebiasaan yang diberlakukan dengan ketat.
Kebudayaan tersebut diwariskan dari generasi ke generasi berdasar cerita dari mulut ke mulut. Pelajaran tentang kehidupan disampaikan melalui cerita-cerita wayang yang pada akhirnya menumbuhkan kesenian pertunjukkan wayang kulit maupun wayang jenis lain. Selain itu wejangan dan nasihat tentang pandangan hidup dan sistem kepercayaan juga ditransmisikan dalam bentuk tembang (lagu) maupun bentuk sastra lainnya. Semua hal itu tidak lepas dari sistem bahasa yang digunakan dan membuatnya berkembang. Dalam masyarakat dipakai tiga jenjang bahasa yaitu Ngoko (bahasa Jawa rendah), Krama Andhap (bahasa Jawa tengah), dan Krama Inggil (bahasa Jawa tinggi). Aturan pemakaian bahasa tersebut sangat rumit, namun tercermin budaya penghormatan dan saling menghargai. Ada satu lagi bahasa yang khusus dan hanya digunakan di lingkungan istana yang disebut dengan Bagongan yang lebih mencerminkan pandangan hidup kesetaraan kedudukan di antara pemakainya.
Para penari tarian Beksan Entheng, sekitar tahun 1870.
Perkembangan budaya sebagaimana dijelaskan di awal tidak lepas pula dari sistem pendidikan. Pada mulanya sistem pendidikan yang digunakan meneruskan sistem yang digunakan zaman Mataram. Pendidikan formal hanya dapat dinikmati oleh keluarga kerajaan. Pendidikan itu meliputi pendidikan agama dan sastra. Pendidikan agama diselenggarakan oleh Kawedanan Pengulon. Pendidikan ini berlokasi di kompleks masjid raya kerajaan. Pendidikan sastra diselenggarakan oleh Tepas Kapunjanggan. Kedua pendidikan ini satu sistem dan tidak terpisah. Para siswa diberi pelajaran agama, bahasa Jawa, budaya, dan literatur (serat dan babad).
Pendidikan barat baru diperkenalkan oleh pemerintah penjajahan pada awal abad 20. Pada pemerintahan Sultan HB VIII sistem pedidikan dibuka. Mula-mula sekolah dasar dibuka di Tamanan dan kemudian dipindahkan di Keputran. Sekolah ini masih ada hingga sekarang dalam bentuk SD N Keputran. Pendidikan lanjut memanfaatkan pendidikan yang dibuka oleh pemerintah penjajahan seperti HIS, Mulo, dan AMS B. Pada 1946, kesultanan ikut serta dalam mendirikan Balai Perguruan Kebangsaan Gajah Mada yang pada 1949 dijadikan UGM.
Sebagai sebuah Kesultanan, Islam merupakan kepercayaan resmi kerajaan. Sultan memegang kekuasaan tertinggi dalam bidang kepercayaan dengan gelar Sayidin Panatagama Khalifatullah. Walaupun demikian kepercayaan-kepercayaan lokal (baca kejawen) masih tetap dianut rakyat disamping mereka menyatakan diri sebagai orang Islam. Berbagai ritus kepercayaan lokal masih dijalankan namun doa-doa yang dipanjatkan diganti dengan menggunakan bahasa Arab. Hal ini menujukkan sebuah kepercayaan baru yang merupakan sinkretis antara kepercayaan Islam dan kepercayaan lokal. Gerakan puritan untuk membersihkan Islam dari pengaruh kepercayaan lokal dan westernisasi baru muncul pada 1912 dari kalangan Imam Kerajaan. Pada perkembangan selanjutnya kawasan Kauman Yogyakarta yang menjadi tempat tinggal para Imam Kerajaan menjadi pusat gerakan puritan itu.

Pertahanan dan keamanan

Pada mulanya sistem birokrasi pemerintahan menganut sistem militer sebagaimana kerajaan Mataram. Seorang pegawai pemerintah juga merupakan seorang serdadu militer. Begitu pula para pimpinan kabinet kerajaan karena jabatannya merupakan komandan militer, bahkan kalau perlu mereka harus ikut bertempur membela kerajaan. Walaupun begitu untuk urusan pertahanan terdapat tentara kerajaan yang dikenal dengan abdi Dalem Prajurit. Tentara Kesultanan Yogyakarta hanya terdiri dari angkatan darat saja yang dikelompokkan menjadi sekitar 26 kesatuan. Selain itu terdapat pula paramiliter yang berasal dari rakyat biasa maupun dari pengawal para penguasa di Manca Nagara.
Pada paruh kedua abad 18 sampai awal abad 19 tentara kerajaan di Yogyakarta merupakan kekuatan yang patut diperhitungkan. Walaupun Sultan merupakan panglima tertinggi namun dalam keseharian hanya sebagian saja yang berada di dalam pengawasan langsung oleh Sultan. Sebagian yang lain berada di dalam pengawasan Putra mahkota dan para pangeran serta pejabat senior yang memimpin kementerian/kantor pemerintahan. Kekuatan pertahanan menyurut sejak dimakzulkannya HB II oleh Daendels pada 1810 dan ditanda tanganinya perjanjian antara HB III dengan Raffles pada 1812. Perjanjian itu mencantumkan Sultan harus melakukan demiliterisasi birokrasi kesultanan. Sultan, pangeran, dan penguasa daerah tidak boleh memiliki tentara kecuali dengan izin pemerintah Inggris dan itupun hanya untuk menjaga keselamatan pribadi sang pejabat.
Kekuatan pertahanan benar-benar lumpuh setelah selesainya perang Diponegoro pada tahun 1830. Tentara Kesultanan Yogyakarta hanya menjadi pengawal pribadi Sultan, Putra Mahkota, dan Pepatih Dalem. Jumlahnya sangat dibatasi dan persenjataannya tidak lebih dari senjata tajam dan beberapa pucuk senapan tua. Pertahanan menjadi tanggung jawab pemerintah Hindia Belanda. Sebagai pengganti kekuatan militer yang dikebiri Kesultanan Yogyakarta dapat membentuk polisi untuk menjaga keamanan warganya. Pada 1942, untuk mengindari keterlibatan kesultanan dalam perang Pasifik Sultan membubarkan tentara kesultanan. Keputusan ini kemudian dikukuhkan dalam perintah Pemerintah Militer Angkatan Darat XVI Jepang pada bulan Agustus 1942. Dengan demikian kesultanan tidak memiliki lagi kekuatan militer.

Prajurit Kraton Yogyakarta[3]

Lambang Keraton Yogyakarta. Lambang ini digunakan pada seluruh Abdi Dalem Perajurit Keraton Yogyakarta yaitu sebagai pin pada baju seragam dan sebagai pengunci ikat pinggang untuk perlengkapan seragam Perajurit.
Layaknya sebuah kerajaan, Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau lebih dikenal dengan Kraton Yogyakarta juga mempunyai beberapa tentara atau satuan-satuan militer. Satuan-satuan militer di Keraton Yogyakarta ini disebut dengan Abdi Dalem Prajurit. Dalam sejarahnya, Kraton Yogyakarta pernah memiliki 15 satuan militer dan masing-masing memiliki nama dan fungsi yang berbeda-beda. Dari 15 satuan militer yang keseluruhannya satuan infanteri tersebut, saat ini baru diaktifkan sebanyak 11 satuan setelah sempat dibubarkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwana IX sebagai antisipasi pemanfaatan Abdi Dalem Prajurit oleh Jepang untuk digunakan dalam Perang Pasifik Timur di masa pendudukan Jepang antara tahun 1942-1945.
Pada awal pembentukannya oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I (ketika itu masih bernama Pangeran Mangkubumi) satuan-satuan Abdi Dalem Prajurit sangatlah kuat. Tercatat Abdi Dalem Prajurit pernah mengalahkah Pasukan Kompeni Belanda di masa pengasingan Sri Sultan Hamenku Buwana I sebelum diadakannya Perjanijian Giyanti tahun 1755. Pada pertempuran-pertempuran tersebut, Abdi Dalem Prajurit bahkan berhasil membunuh perwira-perwira Belanda seperti Letnan Coen yang tewas dalam Perang Gowang, Letna Van Gier tewas pada Perang Grobogan, Letnan Foster tewas dalam Perang Gunung Tidar dan Mayor Clereq dan Kapten Winter yang tewas dalam Perang Jenar/Bogowonto bersama 3.801 Prajurit Kompeni Belanda lainnya. Bahkan ada sebuah pusaka Kraton Yogyakarta berupa Tombak yang bernama Kangjeng Kyai Klerk sebagai bentuk pemulyaan ketika tombak tersebut digunakan untuk membunuh Mayor Clereq pada Perang Jenar/Bogowonto oleh salah seorang Abdi Dalem Perajurit Mantrijero.
Untuk saat ini Abdi Dalem Prajurit Kraton Yogyakarta tidaklah kuat dan tidak pula memiliki fungsi dan tugas untuk bertempur. Seluruh kesatuan Abdi Dalem Prajurit yang ada diperuntukkan untuk mengawal dalam upacara-upacara adat Kraton Yogyakarta seperti pada saat Upacara Gunungan atau lebih dikenal dengan Gerebeg yang diadakan tiga kali dalam setahun, yaitu Grebeg Sekaten, Grebeg Maulud, dan Grebeg Syawal. Berikut adalah sekilas tentang 15 satuan Abdi Dalem Prajurit Kraton Yogyakarta.
  1. Abdi Dalem Prajurit Wirabraja.
  2. Abdi Dalem Prajurit Dhaheng
  3. Abdi Dalem Prajurit Patangpuluh
  4. Abdi Dalem Prajurit Jagakarya
  5. Abdi Dalem Prajurit Prawiratama
  6. Abdi Dalem Prajurit Nyutra
  7. Abdi Dalem Prajurit Ketanggung
  8. Abdi Dalem Prajurit Mantrijero
  9. Abdi Dalem Prajurit Bugis
  10. Abdi Dalem Prajurit Surakarsa
  11. Abdi Dalem Prajurit Langenhastra
  12. Abdi Dalem Prajurit Somaatmaja
  13. Abdi Dalem Prajurit Jager
  14. Abdi Dalem Prajurit Suranata
  15. Abdi Dalem Prajurit Suragama

Selasa, 18 November 2014

potensi generasi muda untuk membangun sebuah bangsa yang dapat menjadikan sosialisasi menjadi lebih baik

Pemuda adalah suatu generasi yang dipundaknya terbebani berbagai macam – macam harapan, terutama dari generasi lainnya. Hal ini dapat dimengerti karena pemuda diharapkan sebagai generasi penerus, generasi yang akan melanjutkan perjuangan generasi sebelumnya, generasi yang mengisi dan melanjutkan estafet pembangunan. Di dalam masyarakat, pemuda merupakan satu identitas yang potensial. Kedudukannya yang strategis sebagai penerus cita – cita perjuangan bangsa dan sumber insani bagi pembangunan bangsanya(1).
Sedangkan, Sosialisasi adalah sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Sejumlah sosiolog menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peranan (role theory). Karena dalam proses sosialisasi diajarkan peran-peran yang harus dijalankan oleh individu(2).
Sepanjang hidupnya, manusia belajar untuk mengolah perasaan, hasrat, nafsu, dan emosi agar dapat membentuk kepribadiannya sesuai nilai-nilai dan pandangan hidup yang terjadi dalam masyarakat. Kebudayaan tidak diterima manusia sebagai warisan, tetapi melalui proses belajar yang terus berlangsung sepanjang hidupnya. Di dalam masyarakat ada nilai-nilai dan norma yang dianggap sebagai bagian dari kebudayaan. Proses internalisasi nilai-nilai dan morma ini akan menentukan apakah seorang individu berhasil dicegah melakukan perbuatan criminal atau tindakan yang tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku, seperti mencuri, merampok, dan berzinah.
Selain belajar untuk mengenal lingkungan , berpartisipasi didalamnya, dalam proses sosialisasi ini sebenarnya seorang individu juga belajar untuk menghayati kebudayaannya terkait dengan norma, nilai-nilai dan norma yang dianut oleh masyarakat. Apa yang diajarkan dan dikenalkan orangtua kepada anaknya sejak kecil seperti, menghormati orang tua, berlaku jujur, rajin berdoa, rajin belajar, dan sopan saat makan dan berbicara merupakan contoh-contoh sosialisasi(3).
Sejalan dengan konsep tersebut, maka sosialisasi tata nilai menjadi bagian penting. Oleh karena itu, proses sosialisasi dilakukan dengan perencanaan secara seksama dan memperhatikan konteks budaya serta kebiasaan yang terjadi di lapangan, dalam hal ini situasi dan kondisi RS CND MBO. Dengan pemahaman konteks sebagai dasar, akan menjadikan proses sosialisasi menjadi menarik dan mudah diinternalisasi. Menyadari kondisi tersebut, proses sosialisasi yang dilakukan RS CND MBO dilakukan dengan membangun keterlibatan staf yang dikenal sebagai sosok yang lebih merasa berarti jika didengarkan dan diajak berdiskusi. Kondisi ini ditemukan saat observasi awal dalam proses pengembangan tata nilai pada bulan Desember 2006. Hal ini diperkuat dengan proses perumusan tata nilai yang juga dilakukan dengan model Co-Creation atau pelibatan peserta untuk menemukan apa yang diperlukan yang harus disepakati sebagai tata nilai.
Proses sosialisasi yang melibatkan para peserta secara aktif ini merupakan rangkaian program besar dalam pengembangan budaya kerja. Jika dicermati secara mendalam, tahap ini merupakan tahap permulaan yang dimulai dari proses penemuan tata nilai yang dikehendaki oleh seluruh komponen RS CND MBO dan diakhiri dengan proses sosialisasi. Dengan demikian proses ini masih perlu ditindaklanjuti dan dikembangkan secara mandiri(4).
Selanjutnya, mahasiswa sebagai intelektual muda dan agen perubahan mahasiswa sesungguhnya memiliki peluang yang sangat besar untuk menjadi penerus kepemimpinan bangsa ke depannya. Mahasiswa telah mendapatkan sebuah ruang untuk mampu mengembangkan dan mengaktualisasikan serta mempersiapkan dirinya sebagai komponen yang mampu menjadi problem solving bagi permasalahan bangsa saat ini ke depannya. Ruang aktualisasi tersebut adalah kampus dan masyarakat yang selalu dekat dengan mahasiswa. Kampus adalah tempat bagi mahasiswa untuk belajar, mengemban ilmu berdasarkan core competence masing-masing.
Tak hanya itu, lembaga mahasiswa pun bisa menjadi ajang bagi mahasiswa untuk mengemban ilmu. Hal ini memperlihatkan bahwa tidak hanya dari buku, ilmu juga dapat digapai dari hasil interaksi dan pengalaman berorganisasi. Kampus dapat diibaratkan sebagai sebuah laboratorium raksasa, di mana mahasiswa bereksperimen dengan berbagai cara, sekadar untuk belajar, mencari tahu dan menggali berbagai potensi yang dimiliki untuk mempersiapkan diri agar kelak ketika terjun dalam realita masyarakat dan negara.
Mahasiswa sebagai kelompok penekan merupakan sebuah peran strategis untuk mengawal dan mengontrol berjalannya sistem pemerintahan ini sesuai dengan harapan masyarakat dan tentunya juga sesuai dengan aturan yang berlaku. Sejarah telah membuktikan bahwa mahasiswa dan pemuda senantiasa menjadi tonggak utama dalam proses pengawalan dan pendorong sebuah perubahan. Peran ini tidak lepas dari sebuah panggilan nurani dan idealitas yang telah tumbuh dan berkembang dalam diri seorang mahasiswa atau pemuda(5). Maka dari itu, pembinaan dan pengembagan generasi muda itu perlu.
Pola dasar pembinaan dan pengembangan generasi muda ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor : 0323/U/1978 tanggal 28 Oktober 1978. Maksud dari pola pembinaan dan pengembangan generasi muda adalah agar semua pihak yang turut serta dan berkepentingan dalam penanganannya benar-benar menggunakan sebagai pedoman sehingga pelaksanaannya dapat terarah, menyeluruh dan terpadu serta berlangsung secara terus-menerus.
Oleh karena itu pada tahapan dan pembinaannya, melalui proses kematangan dirinya dan belajar pada berbagai media sosialisasi yang ada di masyarakat sehingga diharapkan pemuda dapat hidup ditengah-tengah masyarakat dan memiliki motivasi sosial yang tinggi. Oleh karena itu penting adanya pemberdayaan karang taruna guna meningkatkan peran serta pemuda dalam kehidupan bermasyarakat(6).
Dalam hal ini Pembinaan dan pengembangan generasi muda menyangkut dua pengertian pokok yaitu [3] :
a. Generasi muda sebagai subyek pembinaan dan pengembangan adalah mereka yang telah memiliki bekal-bekal dan kemampuan serta landasan untuk dapat mandiri dalam keterlibatannya secara fungsional bersama potensi lainnya, guna menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi bengsa dalam rangka kehidupan berbangsa dan bernegara serta pembangunan nasional.
b. Generasi muda sebagai obyek pembinaan dan pengembangan ialah mereka yang masih memerlukan pembinaan dan pengembangan ke arah pertumbuhan potensi dan kemampuan –kemampuannya ke tingkat yang optimal dan belum dapat bersikap mandiri yang melibatkan secara fugsional.
Selain peranannya yang begitu besar, generasi muda juga menghadapi banyak masalah. Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga Sakhyan Asmara memaparkan 10 masalah yang dihadapi pemuda Indonesia saat ini. Masalah-masalah karakter pemuda itu antara lain masih maraknya tindak kekerasan dikalangan pemuda, adanya kecenderungan sikap ketidakjujuran yang semakin membudaya, berkembangnya rasa tidak hormat pada orang tua, guru dan pemimpin;, sikap rasa curiga dan kebencian satu sama lain.
Selain itu, dalam karakter para pemuda juga didapati kecenderungan penggunaan bahasa Indonesia dengan semakin memburuk; berkembangnya perilaku menyimpang di kalangan pemuda (narkoba, pornoaksi /pornografi, dll), kecenderungan mengadopsi nilai-nilai budaya asing dan melemahnya idealisme, patriotisme serta mengendapnya spirit of the nation, meningkatnya sikap pragmatisme dan hedonisme, serta kecenderungan semakin kaburnya pedoman moral yang berlaku dan sikap acuh tak acuh terhadap ajaran agama.
“Kami mengantisipasi masalah ini dengan berbagai program, di antaranya melaksanakan pendidikan kesadaran bela negara pemuda, jambore pemuda Indonesia, bakti pemuda antar Provinsi, pertukaran Pemuda Antar Negara, serta pembentukan kader pengembangan moral etika pemuda Indonesia.,” kata Sakhyan dalam konferensi pers Peringatan 101 Tahun Hari Kebangkitan Nasional di Gedung Departemen Komunikasi dan Informatika, Jakarta, Jum’at (15/5).
Sakhyan menegaskan, kebijakan pemerintah (Kemenegpora) dalam melaksanakan pembangunan kepemudaan ada dua, yakni penguatan pembentukan karakter bangsa serta peningkatan kapasitas dan daya saing pemuda(7).
Potensi-potensi yang ada pada generasi muda perlu dikembangkan adalah :
a) Idealisme dan daya kritis
b) Dinamika dan kreatifitas
c) Keberanian mengambil resiko
d) Optimis kegairahan semangat
e) Sikap kemandirian dan disiplin murni
f) Terdidik
g) Keanekaragaman dalam persatuan dan kesatuan
h) Patriotisme dan nasionalisme
i) Sikap kesatria
Potensi yang dimiliki oleh generasi muda diharapkan mampu meningkatkan peran dan memberikan kontribusi dalam mengatasi persoalan bangsa. Persoalan bangsa, bahkan menuju pada makin memudarnya atau tereliminasinya jiwa dan semangat bangsa, sebagaimana yang dimaksudkan Socrates sebagai discovery of the soul . Berbagai gejala sosial dengan mudah dapat dilihat, mulai dari rapuhnya sendi-sendi kehidupan masyarakat, rendahnya sensitivitas sosial, memudarnya etika, lemahnya penghargaan nilai-nilai kemanusiaan, kedudukan dan jabatan bukan lagi sebagai amanah penederitaan rakyat, tak ada lagi jaminan rasa aman, mahalnya menegakan keadilan dan masih banyak lagi problem sosial yang kita harus selesaikan.
Hal ini harus menjadi catatan agar pemuda lebih memiliki daya sensitivitas, karena bangsa ini sesungguhnya sedang menghadapi problem multidimensi yang serius, dan harus dituntaskan secara simultan tidak fragmentasi. Oleh karena itu, rekonstruksi nilai-nilai dasar bangsa ke depan perlu bberapa langkah strategis dalam mengatasi persoalan bangsa ; pertama, komitmen untuk meningkatkan kemandirian dan martabat bangsa. Kemandirian dan martabat bangsa Indonesia di mata dunia adalah terpompanya harga diri bangsa. Seluruh aktivitas pembangunan sejauh mungkin dijalankan berdasar kemampuan sendiri, misalnya dengan menegakkan semangat berdikari.
Kedua, harmonisasi kehidupan sosial dan meningkatkan ekspektasi masyarakat sehingga berkembang mutual social trust yang berawal dari komitmen seluruh komponen bangsa. Pelaksanaan hukum, sebagai benteng formal untuk mengatasi korupsi, tidak boleh dipaksa tunduk pada kemauan pribadi pucuk pimpinan negara. Ketiga, penyelenggara negara dan segenap elemen bangsa harus terjalin dalam satu kesatuan jiwa Kata kucinya adalah segera terwujudnya sistem kepemimpinan nasional yang kuat dan berwibawa di mata rakyat yang memiliki integritas tinggi (terpercaya, jujur dan adil), adanya kejelasan visi (ke depan) pemimpin yang jelas dan implementatif, pemimpin yang mampu memberi inspirasi (inspiring) dan mengarahkan (directing) semangat rakyat secara kolektif, memiliki semangat jihad, komunikatif terhadap rakyat, mampu membangkitkan semangat solidaritas (solidarity maker) atau conflict resolutor.
Dan untuk pemuda, mereka harus mampu memperjuangkan sistem nilai-nilai yang merepresentasikan aspirasi, sensitivitas dan integritas para generasi muda terhadap gejala ketidakadilan yang terjadi di masyarakat(8)
Para pemuda/generasi muda termasuk mahasiswa merupakan kelompok penekan yang memiliki posisi untuk mengawal dan mengontrol jalannya sistem pemerintahan sesuai dengan harapan masyarakat Dilihat dari sejarah, mahasiswa dan generasi mudalah yang senantiasa menjadi tonggak dalam pendorong perubahan. Termasuk diantaranya adalah dalam peristiwa rengasdenglok yang berujung pada proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia ini. Generasi muda mempunyai andil yang sangat besar dalam berjalannya sebuah Negara. Tapi, disamping perannya tersebut, generasi muda pula merupakan penyebab masalah yang serius. Maka dari itu perlulah untumembina dan mengembangkan potensi generasi muda muda kearah positif. Misalnya dalam wadah Karang Taruna. Sehingga kegiatan-kegiatan generasi muda dapat tersalur kearah yang baik, dan mampu melahirkan generasi muda yang berguna. Sedang untuk mahasiswa, lebih baik bila mereka diarahkkan untuk menngikuti kegiatan ekstrakurikuler, sehingga mereka dapat menyalurkan kontribusinya dan tidak terjerumus ke tindakan yang negative. Karena disadari atau tidak kegiatan-kegiatan semacam ini dapat meminimalisir terjadinya hal-hal negatif oleh para generasi muda termasuk mahasiswa.

Peran Mahasiswa Dalam Organisasi Kampus

Peran Mahasiswa Dalam Organisasi Kampus

A. Pengertian Organisasi
Organisasi merupakan sekumpulan orang-orang yang bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan bersama. Organisasi mahasiswa merupakan sekumpulan mahasiswa yang membentuk sebuah kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Keefektifan sebuah organisasi tergantung pada visi dan misi yang dimiliki oleh organisasi tersebut. Karena idealnya suatu organisasi pasti memiliki visi dam misi untuk mencapai tujuannya. Begitu juga halnya dengan organisasi mahasiswa. Intinya mahasiswa harus bisa mengembangkan fungsi dan perannya sebagai mahasiswa. Seperti pengembangan intelektual akademis yang berguna nantinya untuk terjun ke masyarakat. Oleh sebab itu untuk mengembangkan peran tersebut dapat dilakukan dengan bergabung dengan organisasi mahasiswa.
B. Organisasi Mahasiswa dikampus
Ada beberapa bentuk organisasi mahasiswa dikampus, diantaranya dapat dapat di golongkan menjadi dua yaitu: organisasi intra kampus seperti Senat Mahasiswa/ Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Unit-unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), Himpunan Mahasiswa Jurusan/Program Studi, dan organisasi ekstra kampus seperti HMI, GMNI, GMKI, PMKRI, PMII, KAMMI, dan sejenisnya. Kesemua organisasi tersebut mempunyai kegiatan yang berbeda-beda dan dasar organisasi yang berlainan pula. Ada yang berlatar belakang minat bakat seperti olahraga, seni, korespondensi, dan sebagainya dan ada juga yang berlatarkan agama seperti HMI, GMKI dan lain-lainnya.
Dengan bervariasinya bentuk organisasi tersebut mahasiswa dapat memilih organisasi mana yang sesuai dengan minat dan bakat mereka masing-masing. Karena jika bergabung dalam suatu organisasi maka kita melihat bakat dan minat kita yang sebenarnya. Walaupun tidak semua mahasiswa tertarik untuk menjadi aktivis dan bergabung di organisasi kampusnya. Tapi setidaknya dengan bergabung disebuah organisasi banyak pengalaman yang bisa didapat selain menambah teman dan mungkin saja bertemu jodoh di organisasi.
C. Pentingkah Berorganisasi Dikampus
Sebelum lulus SMA kita sudah merencakan nanti akan melanjutkan studi kemana? Universitas apa? Jurusan apa? Setelah kuliah cara belajar yang kita jalani sangat kontras dengan cara belajar sewaktu SMA. Mahasiswa dituntut untuk lebih aktif belajar sendiri. Waktu luang saat menjadi mahasiswa sangat lah banyak. Karena jam kuliah yang tidak sistematis seperti saat-saat sekolah dulu. Nah, banyak mahasiswa mengisi waktu luang tersebut dengan berbagai macam cara, ada yang belajar dan terus belajar, dan ada yang bergabung di organisasi-organisasi kampus.
Organisasi mahasiswa merupakan wadah para mahasiswa untuk berproses baik dalam pembelajaran dan pendidikan yang diperoleh melalui kegiatan yang dilaksanakan secara formal maupun non formal. Dalam sebuah organisasi banyak kegiatan yang dilakukan dimana semua anggota organisasi harus berpartisipasi didalamnya. Organisasi yang aktif dan bagus akan sering melatih para anggotanya baik dalam hal akademis maupun kepemimpinan. Dalam hal akademis contohnya memberikan tentoran kepada adik kelas, pelatihan membuat karya tulis, membuat penelitian yang bekerja sama dengan dosen atau pihak kampus dan lain sebagainya. Dalam hal kepemimpinan misalnya melakukan training kepemimpinan bagi anggota dan para calon anggota, membuat even atau sebuah acara yang otomasis membutuhkan sebuah kepanitiaan, dengan adanya kepanitiaan tersebut maka disana dilatih jiwa kepemimpinan anggota organisasi, dan masih banyak lagi yang lain.
Menurut Tonny Trimasanto,(1993) mahasiswa itu digolongkan kedalam dua kelompok, yaitu mahasiswa yang apatis dan mahasiswa aktif terhadap organisasi kampus. Mahasiswa yang apatis terhadap organisasi kampus merupakan mahasiswa yang aktif terhadap perkuliahan saja, segala sesuatu diukur dari pencapaian kredit semester dan indeks prestasi kumulatif yang tinggi dan dapat meraih gelar sarjana secepatnya . Sedangkan mahasiswa aktif adalah mahasiswa yang aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan dikampus, yang sering disebut dengan “aktivis kampus”.
Kedua jenis mahasiswa ini memiliki perbedaan yang kontras saat memasuki dunia kerja, mahasiswa aktifis cenderung lebih mudah bersosialisasi dibanding mahasiswa apatis terhadap organisasi mahasiswa. Dalam berorganisasi kita dilatih untuk bisa bersosialisasi dengan orang lain, selain itu dengan bergabung di organisasi kemahasiswaan kita dilatih juga untuk menyusun strategi dan bisa memanage waktu, diri sendiri dan orang lain. Jadi organisasi mahasiswa penting sekali karena dapat karakter diri seseorang untuk menjadi mahasiswa yang produktif.
Dibalik sisi positif tersebut sering juga kita mendengar sentiment tidak bagus terhadap mahasiswa yang aktif di organisasi, seperti aktifis itu identik dengan gelar ‘M.A’ alias Mahasiswa Abadi, dan tidak jarang aktifis tersebut rawan drop-out karena lebih sibuk di organisasi dibandingkan dengan perkuliahan. Inilah sebagian kecil pandangan banyak orang pada sebuah organisasi mahasiswa. Untuk lebih mengetahui bagaimana organisasi mahasiswa yang sebenarnya ada baiknya mencoba sendiri bergabung didalamnya dan berpartisipasi sebagai anggota organisasi tersebut, baru setelah itu kita bisa menilai baik buruknya sebuah organisasi dan seorang aktifis kampus itu.
D. Peran Organisasi Mahasiswa Di Kampus
Organisasi mahasiswa memiliki banyak peranan penting dikampus. Sebagaimana pengalaman mengajarkan banyak perubahan yang terjadi dalam kehidupan dikampus, di masyarakat, dan berbangsa dan bernegara yang mengalami perubahan karena peran serta dari mahasiswa yang tergabung dalam organisasi mahasiwa tersebut. Kita sering mendengar istilah bahwa mahasiswa adalah “The agent of change”, hal itu benar adanya karena sama-sama kita saksikan banyak perubahan yang terjadi karena peran mahasiswa.
Di kampus sendiri organisasi mahasiswa ini berperan sangat penting. Organisasi merupakan sarana untuk menyalurkan aspirasi mahasiswa pada petinggi-petinggi kampus seperti rektor, dekan, dosen dan sebagainya. Tidak selamanya keputusan yang di buat oleh petinggi kampus dapat diterima begitu saja oleh mahasiswa. Jadi sebagai sarana untuk menyalurkan aspirasi tersebut melalui organisasi inilah disampaikan. Coba saja bayangkan tanpa ada organisasi mungkin kebijakan apapun yang dikeluarkan pihak atasan mahasiswa akan ‘nrimo’ saja. Karena mereka tidak ada sarana untuk menyampaikan pendapat mereka. Sangat banyak kita saksikan perubahan yang dilakukan oleh mahasiswa yang bergabung di organisasi mahasiswa. Misalnya dari BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) sebagai media bagi mahasiswa untuk menyampaikan keluhan tentang mahalnya biaya kuliah, minimnya fasilitas kampus yang tidak seimbang dengan kenaikan biaya kuliah dan lain sebagainya. Dalam forum yang formal nanti perwakilan dari BEM ini akan menyampaikan keluhan mahasiswa ini kepada pihak rektorat contohnya. Nah, dari situ pihak rektorat dapat mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang membebani mahasiswa. Maka dari itu pihak rektorat akan melakukan fungsicontrolling-nya. Tidak hanya BEM, organisasi kehamahasiswaan lainnya baik organisasi internal maupun organisasi eksternal kampus, juga bisa langsung menyampaikan aspirasinya, seperti yang sama-sama kita saksikan contohnya melakukan aksi damai menuntut kenaikan biaya kuliah. Memang realita yang kita saksikan tidak jarang aksi yang awalnya damai berujung dengan kericuhan karena pihak kampus mungkin tidak merespon kasi mereka. Namun itu hanyalah sebagian kecil dari contoh peran penting organisasi mahasiswa dikampus. Tidak dapat kita pungkiri keberadaan organisasi kemahasiswaan sangat lah penting di kampus sebagai fasilitator dan mediator antara mahasiswa dengan petinggi-petinggi kampus.
Organisasi kampus sangat berperan dalam pembekalan untuk melanjutkan study ke luar negeri. Karena salah satu syarat yang biasa diminta untuk mendapatkan beasiswa pendidikan keluar negeri adalah dari karya ilmiah dan penelitianyang pernah kita lakukan. Hal ini bisa kita asah dari berorganisasi.Namun sayangnya, aktivis kampus kebanyakan hanya berkutat di dunia sosial politik kampus, kemampuan menulis ilmiah dan scientific sangat rendah. Sebaiknya, kalau kita menjadi aktifis kampus jangan hanya berkutat pada rapat dan penyelenggaraan event saja jika ingin menjadi aktivis kampus yang komplit dan prestatif. Sertai juga dengan kegiatan-kegiatan kompetitif lainnya, seperti lomba menulis, debat, maupun aktivitas sosial kemasyarakatan lainnya yang juga diperimbangkan nantinya untuk pembekalan study ke luar negeri. Karena, sejatinya jika direnungkan, terlalu banyak waktu yang terbuang sia-sia hanya karena kita terlalu disibukkan dengan event dan rapat organisasi dibandingkan dengan pengembangan kemampuan prestatif diri.
Akan jauh lebih baik jika kita tidak hanya pandai dalam memimpin rapat dan beretorika semata, melainkan kita bisa menjadi aktivis kampus yang rajin membaca, menulis, mengikuti perlombaan dan terjun di kegiatan sosial kemasyarakatan. Dalam hal ini untuk menumbuhkan budaya scientific dan prestatif dalam budaya organisasi kampus, dibutuhkan peran seorang senior atau pimpinan organisasi. Penumbuhan nilai, budaya, dan norma didalam internal organisasi sejatinya dipegang oleh para senior atau pimpinan organisasi. Oleh sebab itu seorang pemimpin dan senior dalam organisasi hendak lah memiliki bekal yang bisa dicontoh oleh kader-kader dibawah kita.
Organisasi kampus juga berperan dalam dalam peningkatan mutu suatu kampus. Organisasi kampus yang aktif dan partisipatif akan selalu memberikan koreksi terhadap kebijakan kampus yang mungkin menghambat krestifitas mahasiswa. Misalnya dalam hal keikutsertaan dalam berbagai lomba antar universitas. Pihak kampus tidak mengetahui sepenuhnya mana mahasiswa yang kira-kira berpeluang untuk diikutsertakan dalan even tersebut. Dengan adanya koordinasi kepada organisasi kampus maka dapat diketahui mana mahasiswa yang berpotensi untuk dikirim sebagai perwakilan suatu kampus. Karena dengan berorganisasi maka dapat diketahui seberapa besar potensi seseorang. Walaupun tidak langsung menang dalam sebuah kompetisi setidaknya mahasiswa yang diutus tadi dapat mengukur kemampuannya dan belajar dari mahasiswa lain dari universitas yang berbeda. Dengan demikian dia akan bisa sharing dengan teman-teman dikampusnya dan organisasinya dan bisa memperbaiki diri dimana kelemahan kita. Setidaknya ada pelajaran penting yang didapat untuk persiapan di kompetisi yang lain. Bayangkan saja apabila pihak kampus tidak pernah mengirim mahasiswanya untuk berkompetisi dengan mahasiswa mahasiswa dari universitas lain. Maka mahasiswa di kampus tersebut tidak lebih hanyalah “seperti katak dalam tempurung”. Merasa pintar didalam kampus sendiri, sedangkan dia tidak tahu bagaimana perkembangan diluar sana. Oleh sebab itu organisasi mahasiswa harus bisa mengkoreksi kebijakan kampus yang tidak mau mengirim mahasiswanya untuk ikut berkompetisi.
Peran serta organisasi dikampus yang lainnya adalah sebagai sarana bagi pihak kampus untuk mendapatkan sumberdaya manusia yang suatu saat dibutuhkan oleh kampus. Koordinasi yang baik dengan organisasi kampus akan lebih mudah merekrut sumberdaya manusia yang bermanfaat dibanding menyeleksi satu per-satu mahasiswa.
E. Manfaat Berorganisasi
Banyak hal yang didapat dengan adanya organisasi mahasiswa yang tidak ada diterima dalam perkuliahan. Dengan berorganisasi mahasiswa terlatih jiwa leadership untuk memanajemen diri sendiri, orang lain, dan organisasi tersebut. Dalam sebuah organisasi tentunya tidak aka lepas dari fungsi-fungsi manajemen yang sudah sama-sama kita ketahui yaitu, “planning, organizing, actuating, controlling”. Nah, apabila kita bergabung dalam sebuah lembaga, baik itu organisasi mahasiswa, di perusahaan, di pemerintahan semunya tidak akan lepas dari fungsi manajemen tersebut, meskipun masih banyak lagi fungsi manajemen yang lainnya. Begitu juga halnya dalam organisasi mahasiswa dikampus, dengan bergabung di organisasi mahasiswa dapat berlatih melakukan fungsi-fungsi manajemen itu.
Dalam berorganisasi banyak sekali soft skill yang kita dapat yang juga tidak kita dapatkan disaat perkuliahan. Setiap individu yang ada dalam organisasi memiliki karakter dan sifat yang berbeda. Disini kita dapat belajar bagaimana menghadapi orang yang memiliki karakter yang berbeda tersebut. Dalam berorganisasi kita juga belajar bagaimana berkomunikasi dengan orang lain, baik itu dengan yang lebih muda, sebaya dan yang lebih tua. Tidak hanya itu,dalam berorganisasi kita bisa juga mendapatkan pengalaman bagaimana berbicara dan menghadapi orang-orang penting, kalau dikampus misalnya berkomunikasi dengan dekanat, dan rektorat. Jika kita bergabung diorganisasi yang sudah cukup bagus yang aktif mengadakan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat tentunya akan langsung terjun ke masyarakat, disini pun kita dilatih bagaimana berkomunikasi dengan pemuka masyarakat dan masyarakat itu sendiri. Contohnya, di UKM yang pernah penulis ikuti, dimana kami disitu mengadakan berbagai program kerja yang membutuhkan komunikasi dengan masyarakat, seperti mengadakan seminar nasional yang menghadirkan pembicara seorang anggota DPR RI, untuk menghadirkan beliau sebagai pembicara sungguh bukan hal yang gampang, nah disinilah kami dilatih cara berkomunikasinya. Contoh lain misalnya waktu mengadakan acara bakti social ke daerah pinggiran. Disana kami juga belajar bagaimana berkomunikasi dengan pemuka masyarakat dan masyarakat itu sendiri. Sungguh ini pengalaman yang benar-benar berharga. Ini tak akan kita dapatkan tanpa bergabung dengan suatu organisasi.
Organisasi merupakan salah satu media yang dapat membentuk kematangan mahasiswa dalam hidup bermasyarakat. Dengan senatiasa berorganisasi maka mahasiswa akan senatiasa terus berinteraksi dan beraktualisasi, sehingga menjadi pribadi yang kreatif serta dinamis dan lebih bijaksana dalam persoalan yang mereka hadapi. Banyak lagi hal yang didapat dengan bergabung dalam suatu organisasi kampus. Oleh sebab itu peran organisasi kampus sangatlah penting. Biasanya orang yang bergabung di suatu orgnisasi akan mudah berinteraksi dengan orang lain. Setiap orang memiliki watak yang berbeda-beda. Tidak jarang muncul konflik karena perbedaan tersebut, contohnya perbedaat pandangan dan pendapat. Dengan adanya konflik tersebut kita dapat belajar bagaimana memanage konflik tersebut dan mencari jalan keluarnya. Nah, artinya organisasi juga merupakan sarana melatih kemapuan social kita.
Manfaat lain bergabung disebuah organisasi adalah menambah jaringan ataunetworking. Dalam orgnisasi kita akan berinteraksi dengan banyak orang. Baik itu dari dalam kampus maupun di luar kampus. Ini sangat bermanfaat nanti kalau kita sudah tamat dan mencari pekerjaan. Orang-orang yang kita kenal saat berorganisasi jangan dianggap remeh, karena mungkin saja suatu saat dia yang akan menawarkan lowongan kerja kepada kita. Jadi dapat kita simpulkan bahwasanya berorganisasi merupakan simulasi dari dunia kerja yang sesungguhnya.
F. Realitas Organisasi Di lapangan.
Saat ini banyak kita saksikan organisasi kemahasiswaan yang cenderung mementingkan kepentingan kelompok semata. Sehingga banyak dari organisasi itu yang tidak tumbuh dan berkembang menjadi suatu kekuatan social dalam menyikapi birokrasi- birokrasi kampus serta mengakomodir aspirasi-aspirasi dari mahasiswa. Tidak jarang juga kita saksikan segelintir mahasiswa yang mengatas namakan dirinya “aktifis kampus” tetapi tidak mencerminkan sikap aktifis yang benar, tidak memberikan contoh yang benar sehingga menimbulkan penilaian negatif dari mahasiswa lain yang mengakibatkan timbulnya sikap apatis terhadap organisasi mahasiswa.
Realitas yang terjadi sekarang kebanyakan aktifis kampus berbicara soal demokrasi, tapi disaat itu ia juga cenderung otoriter dengan memaksakan kehendaknya dan tidak bisa menerima perbedaan dan pendapat orang lain. Hal ini dapat menurunkan kualitas dan kuantitas kaderisasi karena mahasiswa akan cenderung berikap apatis terhadap organisasi dan lebih memilih menjadi mahasiwa kupu-kupu (baca:kuliah-pulang, kuliah-pulang).
Anggapan bahwa mahasiswa yang sibuk berorganisasi adalah mahasiswa yang indeks prestasinya sedang-sedang saja atau bahkan dibawah rata-rata. Sehingga saking sibuknya kuliahnya jadi terbengkalai itu juga tak jarang kita temui. Dibalik realita tersebut bukan berarti bergabung diorganisasi itu kuliah terbengkalai dan sebangainya. Semua itu tergantung kepada masing-masing individunya bagaimana dia bisa memanage dan membagi waktunya. Kita sama-sama diberikan waktu dua puluh empat jam dalam sehari. Ada orang yang bisa memanfaatkan waktu tersebut dengan berkontribusi di banyak hal, dan mereka tidak merasa keteteran. Ini menjadikan motivasi bagi kita bahwa ‘orang lain saja bisa, kenapa saya tidak?’
G. Merubah Paradigma Berfikir
Anggapan di masyarakat bahwasanya organisasi mahasiswa tidak lepas dari melakukan demonstrasi, unjuk rasa, melakukan kericuhan dengan aparat dan masyarakat. Hal ini harus kita luruskan bahwa tidak semua organisasi mahasiswa melakukan dan memilih jalan tersebut agar aspirasinya tersampaikan. Selain itu sentiment negative yang sering muncul seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwasanya aktifis kampus itu cenderung mahasiswa abadi dan rawan drop-out. Sebagian ada juga yang beranggapan kampus adalah semata-mata tempat menimba ilmu yang terbatas hanya pada pelajaran saja.
Banyak sebenarnya ilmu yang kita dapat dengan berorganisasi. Seperti yang sudah dijelaskan juga sebelumnya kita belajar bersosialisasi dengan berorganisasi. Kita menambah wawasan dan persaudaraan juga bisa dengan berorganisasi. Kita belajar tentang kepemimpinan dan ilmu manajemen dari organisasi. Banyak hal yang kita dapatkan dalam berorganisasi yang tidak kita dapatkan di perkuliahan formal.
Dengan bergabung dengan organisasi kemahasiswaan banyak perubahan yang akan kita alami pada diri kita sendiri. Kita bisa mengembangkan bakat dan minat dalam berorganisasi. Misalnya, mahasiswa yang bakat dalam hal tulis menulis, seni, olahraga dan lain sebagainya bisa mengeksplor bakatnya tersebut dan berbagi dengan angguta yang lain dalam organisasi itu. Dengan bergabung di suatu organisasi kita bisa mengetahui bagaimana diri kita yang sebenrnya. Nah, jika kita bergabung disuatu organisasi jangan malu-malu menampilkan minat dan bakat, karena dari minat dan bakat yang kita miliki itulah kita dapat memberikan kontribusi terhadap organisasi.
Berorganisasi juga dapat merubah pola pikir seorang mahasiswa yang nanti akan membedakan ia dengan mahasiswa yang apatis terhadap organisasi kemahasiswaan. Cara berfikir mahasiswa yang pernah berorganisasi biasanya lebih luwes dan logic karena apa yang ia sudah pernah ia aplikasikan dalam berorganisasi misalnya, dibanding mahasiswa yang menghabiskan waktu untuk belajar cenderung cara berfikirnya lebih ke teoritis. Teori tanpa praktek hasinya juga alan nihil.
Organisasi mahasiswa bukan hanya sekedar ajang hura-hura, melampiaskan kejenuhan terhadap tugas-tugas kuliah yang menumpuk, atau untuk mencari jodoh. Kita bisa ‘mahasiswa plus’ dengan berorganisasi. Dengan ilmu yang kita dapat selama berorganisasi akan membuat kita mudah memasuki dunia kerja nantinya. Tidak jarang saat tes wawancara untuk memasuki dunia kerja kita ditanya “pernah kah mengikuti organisasi? Organisasi apa yang pernah anda ikuti? Apa jabatan anda di organisasi tersebut?”. Karena dengan berorganisasi kita sudah terbiasa memanage waktu, diri sendiri, orang lain dan sebuah organisasi. Keluasan wawasan dan pola pikir akan menjadi nilai plus tersendiri dalam mengarungi dunia kerja nantinya.
Jadi tak selamanya aktifis kampus itu adalah mahasiswa abadi yang rawan drop-out, dan suka berunjuk rasa. Bukan berarti tidak ada, mahasiswa seperti ini karena belum bisa memanage waktunya. Dan kejenuhannya akan tugas-tugas diperkuliahan juga bisa menjadi faktor pendorong hal ini. Untuk bisa menjadi aktifis kampus yang bisa dicontoh maka kita harus benar-benar pandai untuk memanage waktunya agar tidak berbenturan antara kuliah dengan organisasi. Sesibuk apapun kita disebuah organisasi kita tidak bisa lepas dari tanggung jawab utama kita sebagai mahasiswa yaitu mengikuti perkuliahan dengan baik, belajar, dan membanggakan orang-orang yang menyayangi kita. Bagaimanapun sebagai mahasiswa kewajiban utama kita adalah menuntut ilmu. Dengan berorganisasi kita bisa berbagi ilmu, kita mengasah kemampuan yang mungkin tidak pernah diajarkan dalam perkuliahan formal dikampus.
Oleh sebab itu organisasi mahasiswa dituntut untuk bisa terus meningkatkan kualitas diri dan meningkatkan pelayanan bagi mahasiswa dikampus tersebut agar paradigma mahasiswa lainnya bisa berubah seiring dengan perbaikan-perbaikan yang dilakukan organisasi mahasiswa sehingga mahasiswa lain simpatik dan tertarik menjadi kader-kader baru untuk turut bergabung dalam organisasi mahasiswa.